Memasuki tahun akademik baru menjadi tahun yang berat bagi Perguruan Tinggi Islam Swasta (PTIS) terutama di lingkungan Kementrian Agama Republik Indonesia. Mengapa berat? Karena PTIS harus berjuang 'mati-matian' mencari calon mahasiswa baru. Berbagai strategi, pendekatan, metode, teknik, dan taktik promosi dilakukan agar calon mahasiswa baru terjaring sebanyak-banyaknya. Kalau tidak maka nasib PTIS akan terancam, terancam kekurang mahasiswa atau bahkan tidak ada peminat sehingga bisa jadi ''gulung tikar'', sebuah kondisi yang mengkhawatirkan.
Diakui atau tidak maju dan mundurnya PTIS berbanding lurus dengan kuantitas mahasiswanya. Ketika kuantitas mahasiswa banyak maka keberlangsungan PTIS menjadi aman, namun ketika kunatitas mahasiswa sangat minim, maka keberlangsung PTIS menjadi 'ketar-ketir'. Nyaris semua sumber dana operasioanl di PTIS bertumpu pada dana dari para mahasiswa, sehingga ketika jumlah mahasiswa PTIS banyak akan berdampak signifikan terhadap dana operasional lembaga dan sebaiknya. Berbanding terbalik dengan Perguruan Tinggi Islam Negeri (PTIN), sumber dana bukan hanya dari mahasiswa tetapi disubsidi oleh pemerintah baik pusat maupun daerah. Ironis memang.
Pada saat masa-masa penerimaan mahasiswa di tahun akademik baru, PTIN memberlakukan dan membuka semua jalur pendaftaran untuk menjaring dan manarik calon mahasiswa baru Promosi yang habis-habisan, ditambah lagi dengan membuka jumlah kouta mahasiswa baru yang luar bisa. Fakta di lapangan ditemukan bahwa kompetitor PTIS bukan hanya datang dari sesama PTIS meliankan datang dari PTIN. Â Secara pragmatis, masyarakat (orang tua dan anak) tentu akan lebih memilih dan berminat memasukan anaknya untuk kuliah ke PTIN dibanding PTIS yang secara biaya lebih ringan karena itu tadi disubsidi oleh pemerintah. Pertanyaannya, lalu bagaimana nasib PTIS? Entahlah....!
Ketika kita berbicara regulasi dan standar pendidikan tinggi, nyaris tidak ada perbedaan antara standar PTIN dan PTIS. Semua telah tertuang dalam Peraturan Menteri Pendidikan Dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2020 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. Standar tenaga dosen, beban kerja dosen, dan lain sebagainya antara PTIN dan PTIS sama.
Sejatinya, pemilik kebijakan memberlakukan PTIS dan PTIN secara adil dan merata, serta tidak ada diskriminatif. Â Sejatinya pemilik kebijakan mendorong dan membantu PTIS dengan maksimal tanpa membedakan status penyelenggaran pendidikan. Toh... pada akhirnya status akreditasi PTIS dan PTIN pun sama.
Pemilik kebijkan harus menyadari dengan sesadar-sadarnya bahwa pendirian PTIS oleh masyarakat melalui yayasan berdasar pada niat, gairah, dan semangat membantu pemerintah dalam mewujudkan pendidikan tinggi, karena sebagaimana amanat undang-undang bahwa pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah melainkan tanggung jawab bersama. Kalau pendidikan menjadi tanggung jawab bersama (pemerintah dan masyarakat), maka idelnya tanggung jawab menjaga keberlangsungan PTIS pun menjadi tanggung jawab bersama. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H