Indonesia merupakan negara yang sangat luas akan daratan dan lautan. Dimana Indonesia merupakan negara dengan ribuan pulau yang tersebar dari Sabang sampai Merauke. Selain itu, Indonesia juga dikenal sebagai negara yang memiliki kebudayaan beranekaragam tentunya semua itu menjadi ciri khas Indonesia yang majemuk. Kemajemukan Indonesia tentunya tidak kita biarkan begitu saja akan tetapi harus kita pertahankan.
Namun kemajemukan Indonesia tentunya tidak lepas dari konflik yang sering terjadi di berbagai daerah. Konflik-konflik itu ada yang mengatasnamakan suku, ras dan agama. Beberapa konflik yang kita ketahui adalah konflik Ambon, Poso, Dayak- Madura dan lainnya. Sehingga semua konflik itu selalu merenggut nyawa dan kerugian harta benda.
Konflik-konflik yang mengatasnamakan agama, ras dan suku terjadi ketika era reformasi tumbuh. Gejolak politik yang tidak stabil dan ekonomi yang tidak menentu menjadi salah satu pemicu konflik itu. Dimana kontrol pemerintahan pada saat itu tidak lagi mampu melihat persoalan daerah.
Lahirnya era reformasi dengan menerapka sistem demokrasi secara langsung dimana sebelumnya kita menerapkan demokrasi perwakilan. Demokrasi secara langsung ini kita bisa lihat dalam pemilihan presiden, kepala daerah dan anggota dewan perwakilan rakyat mulai dari tingkat pusat dan daerah. Selain itu, Indonesia juga menerapkan sistem otonomi daerah dalam membangun negeri ini. Sehingga kemajuan suatu daerah tergantung pada pemberadayaan daerah dalam membangun daerahnya.
Kalau kita melihat masyarakat Indonesia saat ini dalam upaya mengekspresikan keinginannya terlihat seakan bebas berekspresi tanpa batas.Tentunya ekspresi yang tanpa batas ini akan memicu lahirnya konflik. Sebagaimana kita lihat dalam kasus pilkada yang ada didaerah ketika ada pasangan yang dirugikan. Maka para pendukungnya melakukan demontrasi yang berujung pada perusakan. Padahal seharusnya disampaikan secara damai dan santun dengan mengedepankan dialog yang beretika.
Atas dasar itulah saya akan mencoba membahas dalam makalah ini. Sehingga kemajemukan menjadi modal untuk membangun negeri ini. Bukan sebaliknya, dengan adanya kemajemukan justru menjadi pemicu konflik di negeri tercinta ini.
Reformasi dan Kemajemukan
Sejak negara ini dideklarasikan sebagai negara yang merdeka pada 17 agustus 1945 Indonesia menerapkan sistem demokrasi. Ketika era orde lama kita mengenal demokrasi dijalankan secara terpimpin dimana Sukarno memegang kekuasan penuh dalam menjalankan pembangunan negeri ini. Karena demokrasi terpimpin tidak memberikan pada kemajuan bangsa. Seiring berjalannya waktu demokrasi terpimpinpun digantikan dengan orde baru. Orde baru ini bertahan sekitar 32 tahun dibawah kepemimpinan Suharto. Berbagai kemajuanpun nampak terlihat dalam kepemimpinannya. Kita bisa membaca dalam sejarah bahwa pembangunan secara fisik terjadi dimana-mana. Pupuk dan sembako dapat dijangkau oleh rakyat yang berada dalam garis kemiskinan. Selain itu negara kita pernah menjadi negara yang bersewa sembada pangan. Namun dibalik semua itu, berbagai KKN tumbuh subur dimana-mana. Tak sedikit orang yang oposisi terhadap pemerintahan dipenjarakan. Dan juga tak tanggung-tanggung pemerintahan juga melakukan tindakan kekerasan terhdap rakyat yang melakukan protes.
Melihat atas semua itu, rakyat Indonesiapun melakukan gerakan dengan cara menggantikan orde baru menjadi orde reformasi yaitu salah satunya adalah menurunkan Suharto dari jabatan kepresidenan. Lahirnya orde reformasi menjadi harapan semua rakyat Indonesia. Karena orde reformasi memberikan ruang demokrasi secara penuh, hukum yang berkeadilan dan pembangunan yang merata.
Seiring dengan pelaksanaan era reformasi, rakyat Indonesia diberikan haknya untuk memilih presiden, kepala daerah dan anggota perwakilan rakyat untuk menggunakan suaranya secara jujur, adil,bebas dan rahasia. Selain itu rakyat Indonesia di berikan kebebasanya dalam mengekpresikan aspirasinya dalam ruang publik. Namun,terkadang dalam menyalurkan aspirasinya ini terkadang melewati batas alias kebablasan. Tak aneh ketika ada demontrasi dan pemilu kada yang sarat dengan kecurangan selalu diwarnai oleh kerusuhan. Tak sedikit gedung pemerintahan mejadi sasaran perusakan dan nyawa masyarkat sipilpun menjadi taruhanya.
Terkadang sentimen suku, agama dan ras selalu menjadi isu yang dapat menimbulkan konflik kepermukaan ketika kampanye kandidat berlangsung. Masih saja persoalan agama selalu menjadi perhitungan bagi kandidat. Karena terkadang masyarakat yang mayoritas muslim tidak mau memilih kandidat yang beragama non-muslim. Demikian pula dengan masalah suku dan ras menjadi sesuatu yang selalu menjadi isu kecil dalam persoalan pemilu kada.