KEBUDAYAAN & INSTITUSI; NILAI & NORMA
Studi Kasus terhadap Pendidikan Budaya Kerajinan Anyaman di Masyarakat Ciloagirang
Majalengka-Jawa Barat
1. Pendahuluan
Kampung Ciloagirang letaknya di kabupaten Majalengka, ada sebuah kebiasaan yang telah turun temurun dilakukan oleh masyarakat disana. Kebiasaan itu adalah aktivitas ekonomi berupa usaha kerajinan anyaman. Mayoritas mata pencaharian penduduk disana memang di sektor industri rumah tangga, tepatnya usaha anyaman. Hal itu tidak mengherankan karena setiap keluarga disana telah terbiasa mengajarkan keterampilan anyaman itu kepada anak-anaknya sejak mereka menginjak bangku Sekolah Dasar (sekitar 7-8 tahun). Selain di rumah, pelajaran keterampilan itu juga diajarkan di sekolah secara formal lewat bidang studi muatan lokal (Mulok). Ada semacam norma tidak tertulis yang mengharuskan anak-anak disana untuk bisa mandiri, bahkan ketika mereka masih dalam usia dini. Orang tua disana memiliki semacam kebanggaan jika anak-anak mereka bisa hidup mandiri dan ikut meringankan beban mereka. Uniknya, disana anak yang tidak memiliki keterampilan dan kemandirian cenderung dikucilkan dan memiliki hubungan sosial yang kurang harmonis dengan teman-teman sebayanya (peer group).
Ini kemudian menjadi menarik untuk menganalisa lebih jauh bagaimana kecenderungan masyarakat disana bisa begitu terpola dan katakanlah “membudaya”. Pisau analisa yang digunakan tentu saja adalah sosiologi. Pertanyaan-pertanyaan penting yang harus dijawab adalah Apa sebetulnya yang dimaksud dengan kebudayaan dalam term sosiologi? Apa saja yang mendukung agar kebudayaan itu turun temurun?
Atas beberapa permasalahan itu saya sangat tertarik ingin melihat fenomena sosial yang ada di masyrakat Ciloagirang. Adat yang sudah mengakar itu menyangkut tentang orngtua yang mengajarkan anaknya tentang bagaiman cara pembuatan kerajinan bakul. Serta ingin melihat seperangkat kebiasaan,nilai, norma dan institusi yang ada di masyarakat itu.
2. ISI
Kebudayaan dalam term sosiologi adalah “hasil karya, rasa dan cipta manusia masyarakat.” (Selo Sumardjan & S. Sumardi). Definisi lain yang lebih lengkap adalah “kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, keseniaan, moral, hukum, adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain serta kebiasaan-kebiasan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat.” (E.B Taylor)[1] Dengan definisi ini, pola kelakuan masyarakat Ciloagirang diatas kurang lebih bisa dianggap sebagai budaya masyarakat disana.
Kebudayaan mempunyai erat kaitannya dengan kebiasaan, tata kelakuan, institusi, norma dan nilai. Saya akan menjelaskan secara ringkas tentang pengertian dari semua itu serta melihatnya dalam konteks masyarakat di kampung Ciloagirang ketika mereka mengajarkan anaknya dalam melestarikan kebudayaan pembuatan kerajinan bakul.
Kebiasaan merupakan suatu cara yang lazim dan diulang-ulang dalam melakukan sesuatu oleh masyarakat. Maka, kalau kita melihat dari kebiasaan masyarakat Ciloa girang dalam melestarikan kebudayaan yang telah diwariskan dari nenek moyang secara turun-temurun itu terletak dari kebiasaan mereka menanamkan pendidikan kepada anak-anaknya agar bisa membuat kerajinan anyaman bakul sejak dini. Kebiasaan itu menjadi umum sampai sekarang. Karena kalau anak-anakmereka tidak diajarkan tentang Agar pendidikan itu berjalan secara sempurna para orng tua mengajarkan langsung pada anak-anaknya di rumah. Tentunya kebiasaan itu dilakukan ketika anak-anak mereka pulang dari sekolah SD.
Tata kelakuan adalah gagasan yang kuat mengenai salah dan benarnya yang menuntut tindakan tertentu dan melarang yang lain. Saya melihat tata kelakuan yang terjadi dalam kebiasaan masyarakat itu adalah tabu bagi anak-anak ketika pulang sekolah bermain. Karena pada saat itu anak-anak harus mulai untuk belajar membuat anyaman itu. Walaupun anak itu memaksakan untuk bermain ia tetap tidak akan ada temen untuk bermaian.
Institusi sosial dapat didefinisikan sebagai: suatu bentuk organisasi yang secara tepat tersusun dari pola kelakuan-kelakuan, peranan-peranan, dan relasi-relasi sebagai cara yang mengikat guna tercapainya kebutuhan-kebutuhan sosial dasar.[2]
Agar budaya mengajarkan kepada anak-anaknya terus berlangsung secara turun temurun. Maka dibutuhkan sebuah institusi dalam kebiasaan itu. Diamana fungsi keluarga sangat berperan besar dalam menanamkan pendidikan kepada anaknya. Kita juga akan melihat pembagian peran antara ayah dan ibu. Dimana ayah memberikan modal kepada ibunya untuk membelikan alat dan bahan. Selain itu peran ayah juga mendistribusikan hasil buatan anaknya itu kepada bandar. Sementara ibu mengajrkan anaknya tentang proses pembuatan anyaman bakul itu
Selain itu juga pendidikan membuat kerajinan anyaman ini diajarkan juga di sekolah. Setiap dua kali dalam seminggu anak-anak di kampung Ciloagirang sekolahnya mengajarkan siswanya diajarkan membuat anyaman bakul. Pendidikan membuat bakul di sekolah ini tentunya di biayai oleh pemerintahan kabupaten.
Sedangkan norma adalah serangkai aturan yang berlaku di masyarakat baik secara tertulis maupun tidak tertulis.Dengan adanya norma diharapkan menjadi keteraturan dalam masyarakat. Demikian pula dengan proses pendidikan agar bisa berjalan secara teratur maka dibutuhkan seperangkat norma baik yang tertulis ataupun yang tidak tertulis. Aturan yang sangat terlihat di masyarakat ini adalah kebiasaan orang tuanya dalam mengatur jadwal sehari-hari anaknya. Karena dengan cara mendisiplikan waktu anaknya. Akan mempercepat proses pndidikan kepada anaknya. Disini nampak terliaht Seperti halnya ketika anak-anaknya pulang dari sekolah, maka orangtuanya sudah menyediakan pekerjaan tentang apa yang harus di selesaikan pada hari itu. Bagi yang tidak menuruti perintah orng tuanya maka ia akan mendapatkan sanksi. Baik berbentuk teguran halus atau kasar. Bahkan sampai ada anak yang dipukuli karena tidak menuruti perintah ibunya.
Sebelum kita melihat tentang nilai yang ada dalam kebiasaan orang tua mengajarkan cara membuat kerajinan bakul pada anak-anaknya sejak dini.
Nilai ialah penghargaan yang diberikan masyarakat kepada segala yang terbukti mempunyai daya guna fungsional bagi perkembangan hidup bersama. Ada beberapa nilai yang dapat kita lihat dalam proses menanamkan pendidikan membuat kerajinan bakul itu diantaranya;
- Keluarga yang anak-anaknya sudah bisa membuat anyaman bakul sendiri, maka secara tidak langsung orang tua akan merasa bangga. Karena masyarakat tidak akan mencemoohkan gara-gara anaknya tidak bisa membuat kerajinan anyaman bakul.
- Kalau anak sudah bisa mandiri dalam membuat anyaman itu. Ia akan merasakan manfaatnya ketika anak itu keluar dari SD. Karena dengan kemandiriannya ia akan mampu membiayai kehidupannya sendiri. Meskipun masih ada sebagaian masih tanggung jawab dari orang tuanya. Dan di mata masyarkat dia akan merasakan penghormatan bahwa ia termasuk anak yang hebat karena kemampuanya sudah bisa hidup secra mandiri.
4. Penutupan
Demikian beberapa pemaparan yang dapat saya deskrifsikan tentang kebiasaan orang tua mengajarkan anaknya. Agar mereka bisa mengetahui tata cara membuat anyaman di kampung Ciloagirang. Sudah menjadi kebiasaan yang turun-temurun dalam kehidupan di kampung Ciloagirang mengajarkan anak-anaknya membuat kerajinn anyaman. Dimana peran orang tua di sana sangat diperlukan dalam proses ini. seperangkat nilai, norma dan institusi berperan aktif dalam mempertahankan kebiasaan ini.
Daftar referensi.
D. Hendropuspito OC, Sosiologi Sistematik, cetakan pertama, KANISIUS,Yogyakarta: 1989. KANISIUS,Yogyakarta: 1989.
[1]. Yanto subiyanto s, soal-jawab Sosiologi edisis pertama,CV. ARMICO, Bandung, 1980, hal 8.
[2]. Hendropuspito OC, sosiologi sistematik, cetakan pertama, KANISIUS,Yogyakarta, 1989, hal 151-153.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H