Mohon tunggu...
Nana Podungge
Nana Podungge Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang blogger b2wer teacher

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesetaraan Jender

3 November 2010   14:55 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:52 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kuimpor dari blogku di http://nana-podungge.blogspot.com/2009/10/kesetaraan-jender.html

Bisakah seseorang berbincang tentang ketidakmasukakalan istilah ‘kesetaraan jender’ bila dia belum pernah merasakan ketidaksetaraan jender? Tatkala seseorang menanyakan ‘untuk apakah kaum perempuan memperjuangkan kesetaraan jender’, sebagai seorang feminis karbitan—namun berangkat dari ‘penderita langsung’ ketidaksetaraan jender—aku langsung tahu bahwa si penanya belum mengerti akar permasalahan yang telah diperjuangkan sejak beberapa abad lalu oleh para feminis. (Mary Wollstonecraft menulis buku yang berjudul “A Vindication of the Rights of Woman” pada tahun 1792 mempertanyakan hal ini. Buku ini dianggap sebagai buku pertama yang bertemakan hak-hak perempuan.) Apa yang bisa kita simpulkan tatkala seseorang mengatakan bahwa kodrat perempuan itu berbeda-beda, tergantung dimana dan kapan kita berada? Orang yang mengatakan hal ini tidak paham apa arti sebenarnya kata ‘kodrat’ itu. Kodrat adalah segala hal yang diciptakan oleh Tuhan, dan tidak akan pernah bisa berubah, dimana pun dan kapan pun kita berada. Berangkat dari definisi ini, kita bisa menyimpulkan kodrat bagi seorang perempuan meliputi:


  • Menstruasi pada usia tertentu
  • Mengandung, tatkala sel telur yang dia hasilkan dibuahi oleh sperma, ini menurut cara konvensional. Konon di zaman sekarang seorang perempuan bisa hamil tanpa sperma.
  • Melahirkan, (setelah mengandung)
  • Menyusui, dengan catatan jika tubuhnya mampu menghasilkan air susu yang cukup untuk diberikan kepada bayinya


Untuk poin kedua, kita tahu bahwa tidak semua perempuan ditakdirkan bisa mengandung, hanya Sang Pemberi Hidup lah yang mengetahui rahasia hal ini. Demikian juga dengan poin keempat, kita juga tahu bahwa tidak semua perempuan dikarunia kemampuan menghasilkan air susu yang cukup, bahkan terkadang ada perempuan yang air susunya tidak keluar sama sekali setelah melahirkan. Untuk hal ini mungkin pihak medis bisa merunut sejarah kehamilan untuk mencaritahu hal ini. Penjelasan akan kodrat di atas membuat kita bertanya, bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan bahwa kodrat perempuan itu berbeda-beda berdasarkan dimana dan kapan dia tinggal? Hal apa lagi yang dipaksa untuk dikategorikan sebagai kodrat perempuan?


  • Memasak? Untuk memasak, seorang perempuan tidak memerlukan rahim, vagina, atau pun payudara, sehingga kaum laki-laki pun sangat bisa melakukan hal ini. Dan kita pun tentu tahu banyak laki-laki yang menjadi ahli memasak.
  • Menjadi pengasuh anak? Perempuan secara eksklusif sangat dibutuhkan untuk ‘menghasilkan’ anak karena hanya perempuan lah yang menghasilkan sel telur, dan yang memiliki rahim tempat janin tumbuh. Untuk mengasuh anak, seorang perempuan tidak memerlukan rahim maupun payudara, sehingga bisa dikatakan bahwa tanggung jawab menjadi pengasuh anak tidak secara eksklusif milik seorang perempuan.
  • Mengurus rumah tangga? Menggunakan alasan pada poin yang tertulis di atas, kita bisa menyimpulkan hal yang sama: baik laki-laki maupun perempuan bisa melakukannya secara bersama-sama.


Undang-undang yang menyatakan bahwa jika perceraian terjadi, maka sang ibu memiliki hak untuk menjadi ‘guardian’ anak-anak, bisa jadi memang sangat memihak kaum perempuan. Namun hal ini pun kemudian disalahgunakan oleh para laki-laki—terutama di etnis-etnis tertentu di Indonesia. Setelah menikahi seorang perempuan, membuatnya hamil, tak lama kemudian dia kabur menghilang. Tinggal lah sang ibu seorang diri membesarkan bayi yang dihasilkan. Bahkan jika terjadi perceraian yang ‘legal’ di pengadilan, dan bukan kasus seorang laki-laki kabur begitu saja setelah menghamili seorang perempuan, pengadilan tetap saja tidak bisa memaksa pihak laki-laki untuk tetap bertanggungjawab, minimal secara finansial, untuk anak-anak yang dihasilkan dari perkawinan tersebut. Undang-undang di Indonesia belum memihak kaum perempuan dalam hal ini. Jika seorang perempuan memaksa diri datang ke pengadilan untuk melaporkan mantan suami yang tidak memberikan tanggung jawab finansial untuk si anak, belum tentu akan berhasil. Apalagi jika sang mantan suami tidak memiliki pekerjaan tetap. Belum pernah terjadi kasus seorang laki-laki dijebloskan kedalam penjara karena dia tidak memberikan uang untuk biaya anak-anak yang kebetulan tinggal bersama mantan istri. Yang ada mungkin seorang mantan suami memaksa mantan istri untuk mau kembali kepadanya, misal, “Salah kamu sendiri minta cerai. Kalau kamu tetap jadi istriku ya aku mau bertanggungjawab.” Apakah definisi ‘kesetaraan jender’ yang diperjuangkan oleh para feminis? Tentu tidak agar perempuan bisa tampil seperti laki-laki, dengan tubuh kekar, berjalan gagah, dll. Atau, misal, kalau mau dianggap setara, coba dong perempuan juga bekerja sebagai penyelam di perairan dalam, atau pilot pesawat tempur, atau pun pekerjaan lain yang bersifat ‘maskulin’. Motto utama kesetaraan disini adalah bahwa perempuan memiliki hak penuh untuk menentukan pilihan hidupnya.


  • Perempuan berhak untuk memilih menikah atau tidak.
  • Perempuan berhak memilih apakah dia akan mengandung untuk memiliki anak, atau tidak, setelah menikah, ataupun memiliki anak di luar pernikahan.
  • Perempuan berhak memilih untuk memiliki karier di luar rumah, di dalam rumah, atau mungkin menjadi ibu rumah tangga.
  • Perempuan berhak memilih karier apa saja yang dia inginkan, tanpa terbatasi fisiknya sebagai perempuan.


Untuk poin dua, tiga, dan empat, bagi perempuan yang menikah, maka seyogyanyalah jika sang suami memberikan dukungan sepenuhnya. Jangan karena kebetulan tinggal di sebuah komunitas yang memiliki konsensus perempuan mengerjakan seluruh pekerjaan rumah tangga, sang suami dengan tanpa pengertian membebani sang istri yang memilih untuk berkarier di luar rumah untuk tetap melakukan seluruh pekerjaan rumah tangga, tanpa membantunya sama sekali. “Salahmu sendiri dong, ngotot bekerja di luar rumah. Telan sendiri tuh resikonya.” Para pejuang kesetaraan jender percaya bahwa perjalanan ini masih sangatlah panjang. Yang penting adalah kita tetap berkomitmen untuk memperbaiki kehidupan perempuan, yang kita yakini akan menghasilkan kehidupan bersama bagi laki-laki maupun perempuan yang lebih baik.

Nana Podungge

PT56 21.21 111009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun