[caption id="attachment_246759" align="aligncenter" width="400" caption="Ilustrasi/Admin (KOMPAS.com)"][/caption] Gempa berskala 4,9 SR, sebagaimana dicatat oleh Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) pada 12 Februari 2013,mengguncang daerah Kilju di Korea Utara. Kedalaman pusat gempa diperkirakan hanya 1 km, menimbulkan dugaan bahwa negara pimpinan Kim Jung-un tersebut benar-benar telah melaksanakan niatnya untuk melakukan uji coba senjata nuklir. Keterkejutan dunia internasional tentu saja tidak disebabkan oleh getaran gempa dangkal yang terjadi, tetapi justru akibat guncangan psikis akibat adanya uji coba senjata nuklir. Sebelumnya negara komunis tersebut pernah melakukan uji ledakan senjata nuklir pada tahun 2006 dan 2009, serta uji roket balistik pada Desember 2012 lalu.
Sontak dunia internasional mengecam kenekatan Korea Utara tersebut. Negara-negara yang berseberangan kepentingan, seperti Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Jepang langsung mengutuk tindakan yang semakin memanaskan Semenanjung Korea itu. Bahkan China sebagai sekutu dekat Korut juga sangat menyayangkan tindakan Kim Jong-un. Indonesia, sebagai negara yang aktif mendukung NPT dan CTBT juga langsung merespon kejadian tersebut dan mendorong prakarsa diaktifkannya Forum Six Party Talks sebagai langkah diplomasi damai untuk menurunkan ketegangan kawasan Semenanjung Korea.
Kecaman dari berbagai Negara justru disikapi Pyongyang dengan menggelar perayaan atas keberhasilan uji coba senjata nuklirnya. Tak kurang dari 100.000 tentara dan warga sipil melakukan apel besar pada 15 Februari 2013 lalu. Bahkan pemerintah secara terbuka menyampaikan akan mengadakan uji coba susulan.
Fakta sejarah telah mencatat bahwa pencapaian penguasaan teknologi nuklir justru diperkenalkan melalui senjata pemusnah massal yang bernama bom nuklir atau bom atom. Dua buah bom nuklir telah diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki pada Agustus 1945 yang mengakhiri Perang Dunia II. Tidak hanya kota yang hancur luluh lantak dan rata dengan tanah, bom nuklir menyisakan pancaran radiasi dan kontaminasi zat radioaktif yang dihasilkan dari produk fisi sebagai ikutan suatu reaksi pembelahan bahan nuklir. Pengalaman pahit inilah yang menjadikan senjata nuklir menjadi sedemikian menakutkan dan dianggap sebagai ancaman sangat serius terhadap keberlangsungan perdamaian dunia.
Uji Coba Senjata Nuklir
Pada masa Perang Dingin, banyak dilakukan percobaan uji coba senjata nuklir. Sebelum adanya pembatasan pada 1963 tidak kurang dari 500 percobaan ledakan dilakukan. Beberapa tempat yang dikenal sebagai lokasi percobaan senjata nuklir antara lain Gurun Nevada (Amerika Serikat), Bikini Atol (Kepulauan Marshall, AS), Kiritmati (Christmas Island), Maralinga (Australia), Semipalatinsk (Kazakstan), Novaya Zemlya (Kutub Utara, Rusia), Mururoa (Pasifik, Perancis), Lop Nur (China), Pokhran (Rajasthan, India), dan Koh Kambaran (Pakistan).
Dampak Radiasi Nuklir
Pada saat unsure U-235 bereaksi dengan netron termal, terjadilah reaksi fisi yang menghasilkan energi 200 MeV per fisi dan netron baru yang akan memicu reaksi berantai selanjutnya. Disamping itu pada reaksi tersebut juga dihasilkan produk fisi sebagai hasil belah U-235, seperti Xe, I, Sm, Sr, dll. Unsur-unsur produk fisi pada umumnya merupakan unsur tak stabil yang akan memancarkan radiasi dan dapat membentuk deret peluruhan yang sangat panjang sehingga dimungkian timbulnya unsur sepertiH-3, C-14, Cs-137, Sr-90 yang mencemari lingkungan hidup.
Pada era sebelum 1963 dosis efektif rata-rata yang diterima manusia akibat radiasi sisa percobaan senjata nuklir mencapai 0,1 mSv per tahun (dengan batasan aman untuk publik 1 mSv per tahun). Menyadari besarnya potensi bahaya radiasi akibat ledakan bom nuklir, maka masyarakat dunia mendorong dilakukannya pembatasan penyebaran dan percobaan senjata nuklir, antara lain melalui mekanisme NPT dan CTBT. Dewasa ini rata-rata dosis yang diterima publik dari sisa percobaan bom nuklir dapat ditekan menjadi 0,005 mSv per tahun. Dosis ini jauh lebih tinggi dibandingkan dosis akibat pengoperasian PLTN (0,0002 mSv per tahun).[UNSCEAR]
NPT
Non Proliferation Treaty (NPT) merupakan perjanjian untuk mencegah penyebaran senjata nuklir yang digagas sejak tahun 1968. Tiga tujuan utama NPT adalah pelucutan senjata nuklir, pelarangan penyebaran senjata nuklir, dan penggunaan nuklir untuk maksud damai. Untuk menjaga kestabilan dan perdamaian internasional pada dasarnya rekomendasi NPT merupakan kesepakatan bersama yang membahas tentang penegasan kembali terhadap komitmen terhadap prinsip dan tujuan perlucutan senjata nuklir (decision on principles and objectives for nuclear disarmament) yaitu universalitas (universality), non-proliferasi (non proliferation), perlucutan senjata nuklir (nuclear disarmament), kawasan bebas senjata nuklir(nuclear weapons free zone), pengawasan (safeguards) IAEA danpenggunaan nuklir untuk tujuan damai (peaceful uses of nuclear energy) dalam rangka implementasi traktat.
Indonesia telah meratifikasi NPT melalui penetapan UU No. 8 Tahun 1978. Sebagai perkembangan NPT telah terbentuk traktat kawasan bebas senjata nuklir, seperti Traktat Antartika, Tlatelolco, Rarotonga, Pelindaba termasuk Southeast Asia Nuclear-Weapon-Free Zone. Negara kita juga telah turut meratifikasinya SEANWPZ melalui UU No.9 Tahun 1997. Pada saat ini Negara-negara yang tidak termasuk Negara pihak dalam NPT diantaranya Korea Utara, India, Pakistan, dan Israel.
CTBTO
Comprehensive Test Ban Treaty (CTBT) merupakansebuah perjanjian internasional yang melarang semua kegiatan peledakan nuklir dalam semua lingkungan baik untuk tujuan militer maupun sipil. Traktat ini mulai terbuka untuk ditandatangi pada tanggal 24 September 1996. Pada waktu itu terdapat71 negara yang turut tanda tangan, termasuk 5 dari 8 negara berkemampuan nuklir. Hingga saat ini sudah lebih dari 176 negara sudah menandatangi traktat dan 135 negara telah meratifikasinya.
Sebagai upaya untuk memantau atau mendeteksi adanya pelanggaran traktat berupa dilakukannya percobaan maupun peledakan senjata nuklir, dibentuklah Comprehensive Test Ban Treaty Organization (CTBTO) yang bermarkas di Vienna, Austria. CTBTO bertugas utama untuk melakukan deteksi dan verifikasi adanya ledakan nuklir melalui pendeteksian seismometer, hidroakustik, infrasonik, dan radionuklida. Saat ini telah terdapat lebih dari 321 stasiun monitor dan 16 laboratorium analisis radionuklida di seluruh dunia. Bahkan 6 diantara berada di Indonesia, meliputi stasiun monitor di Cibinong, Jayapura, Sorong, Parapat, Kappang, dan Kupang.
Indonesia termasuk negara yang secara aktif turut menggagas lahirnya CTBT dan CTBTO. Melalui UU No.1 Tahun 2012, Indonesia secara resmi telah meratifikasi traktat tersebut sebagai bukti dan komitmen bahwa RI merupakan negara yang mendukung penggunaan nuklir hanya untuk tujuan damai. Di sinilah RI memerankan posisi stretegis untuk turut mewujudkan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial sebagaimana rumusan tujuan nasional yang termaktub di dalam Pembukaan UUD 1945.
Dengan upaya-upaya yang telah dilakukan oleh masyarakat internasional sebagaimana terurai di atas, akankah terwujud dunia tanpa senjata nuklir pada suatu saat nanti? Sangat banyak faktor yang mempengaruhi tercapainya cita-cita tersebut. Namun demikian, kita sebagai bagian masyarakat dunia harus terus berperan aktif untuk mendorong pencegahan penyebaran dan penggunaan senjata nuklir. Sebaliknya pemanfaatan teknologi nuklir untuk tujuan damai di bidang energi, industri, ataupun kesehatan harus terus kita dukung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H