Mohon tunggu...
Nanang Rosidi
Nanang Rosidi Mohon Tunggu... -

Pria kelahiran Indramayu 25 tahun silam ini sehari-hari sibuk menulis: menulis karena tuntutan pekerjaan di salah satu kementerian maupun menulis karena hobi. Pernah meng-khilaf-kan sekelompok mahasiswa sehingga terpilih menjadi Ketua Umum Keluarga Mahasiswa Sunan Gunung Djati (KMSGD) Jabodetabek Periode 2014-2016.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Tentang Justifikasi

3 Agustus 2014   21:22 Diperbarui: 18 Juni 2015   04:31 833
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Manusia tidak bisa lepas dari penilaian (justifikasi). Segala yang dihadapi oleh manusia pasti dijustifikasi. Sepertinya, binatang juga mampu melakukan justifikasi ini, misalnya, binatang mampu membedakan mana yang merupakan makanan baginya dan mana yang bukan makanan baginya. Tetapi, pada diri manusia justifikasi itu lebih mendalam, karena manusia memiliki kelebihan berupa akal (rasio), sementara, pada binatang digerakkan oleh insting (naluri) khas binatang.

Seorang filsuf abad ke-20 asal Prancis yang bernama Henri Bergson menyatakan bahwa akal manusia itu memotong-motong realitas yang terus menerus mengalir. Artinya, aktifitas akal dalam rangka memahami realitas tidak bisa mencerna realitas itu secara apa adanya, yakni mengalir secara terus menerus. Akal pasti memotong-motong aliran realitas itu.Umpamanya seperti kita memahami suatu peristiwa/kejadian tetapi dengan cara melihat foto-foto peristiwa/kejadian tersebut, tidak menyaksikan langsung ketika peristiwa itu terjadi. Nah, maka timbul persoalan epistemologi, bagaimana mungkin manusia mampu memahami realitas secara memadai sementara akal bekerja melalui potongan-potongan realitas itu? Bergson sudah menjawab pertanyaan tersebut. Jika anda penasaran silahkan baca saja misalnya di buku Filsafat Kontemporer: Prancis karya K. Bertens.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita melakukan justifikasi secara terputus-putus, tidak menyeluruh, misalnya, di dalam sebuah perusahaan sedang diadakan tinjauan mendadak oleh atasan terhadap karyawannya. Kebetulan pada saat itu, seorang karyawan sedang tidak masuk kerja tanpa keterangan. Maka sang atasan akan menjustifikasi bahwa karyawan tersebut adalah karyawan yang tidak baik, sering bolos kerja, dst. Padahal, karyawan itu biasanya rajin, tetapi, kebetulan pada hari diadakannya tinjauan mendadak itu ia sedang tidak masuk kerja tanpa keterangan. Ini adalah penilaian yang tidak adil. Nilai seseorang yang sudah bekerja bertahun-tahun hanya ditentukan sesaat ketika adanya tinjuan mendadak. Demikian dengan ujian nasional di sekolah-sekolah. Proses belajar selama tiga tahun hanya ditentukan dua jam proses mengerjakan soal. Ini tentu tidak adil. Untungnya, pemerintah kita mengubah kebijakan sehingga presentase hasil UN dalam menentukan lulus atau tidak lulus semakin diperkecil.

Justifikasi semacam ini sering saya temukan di organisasi mahasiswa, seperti yang saya singgahi selama ini. Jika kerja kepanitiaan dianggap sedang “lesuh” maka segera diadakan rapat evaluasi. Nah, yang jadi korban adalah mereka yang biasanya aktif, tetapi kebetulan pada saat evaluasi berlangsungmereka sedang di tempat lain. Seolah, “dosa” yang dilakukan pada saat itu jumlahnya berkali-kali lipat lebih banyak ketimbang “dosa” yang dilakukan pada kesempatan sebelumnya. Tentu ada pihak yang diuntungkan, yaitu mereka yang biasanya kurang aktif, tetapi hadir pada saat evaluasi. Mereka ini bisa memperoleh nilai yang lebih baik ketimbang mereka yang biasanya aktif tetapi sedang tidak hadir pada rapat evaluasi.

Parahnya lagi, di dalam organisasi kemahasiswaan, terkadang proses “evaluasi dadakan” semacam ini dikomandoi oleh satu atau dua orang yang punya kepentingan tertentu, misalnya ingin menjatuhkan citra pesaingnya, tidak murni terdorong karena ingin memperbaiki keadaan. Tujuannya adalah untuk memperkeruh keadaan.Sayangnya lagi, kebanyakan orang terprovokasi oleh keadaan yang sudah “disetting” itu. Di sinilah peran strategi kekuasaan bermain. Tentang tema strategi kekuasaan ini anda bisa membaca pemikiran Michel Foucault (filsuf Prancis abad ke-20).

Justifikasi yang baik adalah justifikasi yang dilakukan secara adil. Tidak bisa menjustifikasi seseorang hanya melihat pada satu kesempatan saja, karena cara yang demikian itu tidak merepresentasikan diri seseorang. Dalam proses justifikasi harus melihat secara keseluruhan (totalitas), bukan per-bagian.

Agar tidak terjadi kesalahpahaman, saya ingin mengemukakan latar belakang saya menulis tulisan ini. Kejadian ini menimpa beberapa anggota di organisasi yang saya geluti selama ini. Mereka mendapatkan penilaian yang tidak adil. Mereka mendapatkan citra buruk: tidak loyal terhadap organisasi, hanya karena tidak hadir pada saat rapat evaluasi berlangsung. Jadi, peristiwa itu tidak menimpa diri saya sendiri. Saya menulis untuk membela anggota lain, bukan diri saya. Dan ini sudah saya sampaikan secara langsung di akhir rapat evaluasi. Lagi pula, menurut perkiraan saya, kalaupun saya tidak hadir pada saat rapat evaluasi, tidak akan ada orang yang berani menyudutkan saya, mengingat bagaimana posisi saya (bukan posisi struktural) di antara teman-teman yang lain di organisasi tersebut.

Setelah membaca tulisan saya ini, semoga kita sadar pada realitas yang semacam itu. Semakin banyak orang yang sadar, maka langkah-langkah menuju perbaikan semakin terbuka lebar.Kita mesti sadar bahwa seringkali justifikasi yang dilakukan itu tidak adil karena hanya melihat sepotong-sepotong, tidak keseluruhan, tidak representatif. Orang baik bukanlah orang yang di akhir hidupnya dalam keadaan baik. Orang jahat bukanlah orang yang di akhir hidupnya dalam keadaan jahat, melainkan harus melihat keseluruhan hidup orang tersebut.Semoga bisa dipahami. []

Ciputat, 17 Juni 2014

11:46 wib

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun