Duduk persoalannya adalah bahwa mimbar-mimbar jum’at itu telah dijadikan panggung untuk menyampaikan isme-isme. Oleh karena yang disampaikan adalah isme-isme maka sifatnya tidak lagi universal: ada yang terwakili, ada yang tidak. Walhasil khutbah seperti ini rentan mengundang pro dan kontra. Padahal, semestinya materi khutbah itu universal bagi umat Islam.
Doa dan Ideologi
Ketika khotib membaca doa untuk mengakhiri khutbah jum’at, seketika para jama’ah mengangkat tangan sambil mengucapkan “amiiin.” Kebanyakan dari mereka tidak peduli tentang doa apa yang sedang dipanjatkan. Mungkin karena doa disampaikan menggunakan bahasa Arab sehingga tidak semua jama’ah mengerti artinya. Kemungkinan kedua bahwa mereka meyakini bahwa doa yang dipanjatkan adalah tentang kebaikan-kebaikan universal yang menjadi harapan bagi semua orang, sehingga mereka cukup mengamini saja.
Saya sendiri mendengar doa yang dipanjatkan itu sifatnya universal. Tetapi jika saya pikir-pikir lagi, bukankah setiap kata itu beragam makna. Teringat dengan filosof Prancis, Jacques Derrida [terkenal dengan teori dekonstruksi], yang mengatakan bahwa setiap tanda selalu terkait dengan tanda-tanda lainnya. Tidak seketika berhenti pada makna. Ketika khotib berdoa: “Jadikanlah negeri kami ini negeri yang baik dan mendapat pengampunan dari-Mu” (baldatun toyyibatun wa robbun ghofur).
Apakah yang dimaksud dengan “negeri yang baik” oleh khotib itu sama dengan apa yang saya maksud? Sudah jelas bahwa isi khutbahnya adalah formalisasi syariat menjadi hukum negara. Maka sudah jelas pula bahwa konsep sang khotib tentang “negeri yang baik” adalah negeri yang menerapkan syariat Islam. Dengan kata lain, ia berdoa agar Indonesia menerapkan syariat Islam.
Entah karena keangkuhan saya atau sekedar merayakan kebebasan berpikir, setelah sampai pada kesimpulan tersebut, akhirnya saya memilih untuk memanjatkan doa sendiri.[]
Ciputat, 26 Desember 2016
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI