Tak terlihat wajah lelah dari lelaki bersahaja bertubuh tinggi, kurus, kulit kuning langsat itu. Wajah yang mulai keriput, menandakan umur yang sudah tidak muda lagi. Setiap pagi mengayuh sepeda tua, sepeda yang sama yang di gunakan sejak puluhan tahun silam. Sepeda yang sudah ada sejak jaman Nipon atau mungkin Marsose. Cukup tua memang, terlihat dari bentuk dan kondisi sepeda yang tidak kelihatan warna cat aslinya.
Tidak terlihat asing sejak aku mengenalnya, mengayuh sepeda setiap pagi melewati depan rumahku. Melewati jalan makadam satu-satunya, menembus kabut pagi setiap hari. Tidak ada yang tidak mengenal beliau karena beliau satu - satunya guru yang sudah lama mengajar di sekolah SD di kampungku. Guru yang mengajar di sekolah di bawah bukit di kampung sejak aku belum lahir, atau mungkin sejak bapak dan pamanku masih kecil: Pak Suraji namanya. Tapi saya mengenal dan sering memangil beliau Mbah Ji.
Mbah Ji, seorang guru SD yang mengajar di sekolah kampung sejak puluhan tahun. Sejak masih muda sudah mengajar di SD ku. Ntah sejak tahun berapa, karena tidak ada catatan di sekolah atau sejarah foto guru yang mencatatnya. Tidak - tidak...., sekolah kami tidak ada foto guru atau kepala sekolah. Hanya foto presiden dan wakil presiden yang setiap lima tahun di ganti dengan foto yang lebih baru meskipun wajah yang sama.
***
Pagi itu seperti hari - hari sebelumnya, dengan sepeda tuanya Mbah Ji mengayuh sepeda melewati depan rumahku. Dengan celana dan setelan baju safari yang sudah memudar warnanya, sepatu kulit yang sudah usang, sepatu yang sama yang sudah di pakai selama 23 tahun yang berarti dua kali umurku waktu itu. Mbah Ji berangkat menuju sekolah SD yang terletak persis di bawah bukit.
"Ngasto Mbah Ji, **ngajar Mbah Ji" tanya Pak Marto sambil berangkat ke sawah
"Iyo To...arep ning sawah??, **Iya To, mau ke sawah??" Jawab Mbak Ji sambil mengayuh sepeda tuanya terus berlalu
Semua orang di kampungku menghormati Mbah Ji. Selain umur beliau yang sudah sepuh, hampir sebagian penduduk di kampung pernah menjadi murid Mbah Ji. Tak jarang ada satu keluarga kakek, bapak dan anak yang pernah menjadi murid Mbah Ji (hahahaha.... mbuh jenenge opo iki: keluarga seperguruan atau seper-padepokan hehehe....). Tapi yang jelas sudah buanyaakkk sekali penduduk kampungku pernah menjadi murid Mbah Ji.
Bagi kami penduduk di sebuah kampung kecil, sosok Mbah Ji yang bersahaja bukan hanya seorang bapak/sesepuh kampung. Tapi sosok Mbah Ji berarti dedikasi itu sendiri dan pengabdian tanpa pamrih. Beliau sudah mengajar sejak muda sampai tua pensiun dan bukan hanya membuat penduduk kampung mendapatkah hak sebagai warga negara yang mungkin terlewatkan karena jarak dan pembangunan yang tidak merata.
"Ngati - ngati lek mlaku...,**Hati - hati kalo berjalan", sapa Mbah Ji padaku dan teman - teman