Mohon tunggu...
Nanang Musha
Nanang Musha Mohon Tunggu... -

A modest megalomaniac. A retired rebel. A splendid combination of trouble and talent. \r\n

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menanti Solo Berseri

12 Juni 2011   00:56 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:36 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dahulu saya percaya bahwa alasan mengapa tidak banyak band, terutama yang bergerak di wilayah arus-samping (cutting edge) muncul di Solo dikarenakan semua itu emang sudah dari sononya. Alasan klise ini bakal panjang jika diuraikan. Mulai dari minimmnya infrastruktur berupafasilitas baik itu berupa venue untuk tampil maupun studio yang representatif, tidak adanya media lokal yang intens mengangkat musik indie maupun label rekaman untuk menampung karya-karya di ranah itu, hingga perihal rendahnya tingkat apresiasi publik akan kegiatan kesenian. Keyakinan itu muncul lantaran setiap kali saya pulang dari perantauan dan bertanya kepada beberapa kawan yang menurut saya terlibat dalam scene indie di Solo, jawabannya hampir serupa: “Solo ya begini-begini aja.”

Pada paruh kedua tahun 2010, saya semakin penasaran dan bertanya-tanya. Jangan-jangan apa yang disampaikan oleh teman-teman itu keliru. Atau mungkin selama ini saya bertanya kepada orang yang kurang tahu medan. Bisa jadi dong apa yang dianggap sebagai stagnasi itu hanyalah anggapan bias belaka. Jangan-jangan kemandegan itu terjadi karena memang banyak band bagus namun tidak terdeteksi oleh radar. Jangan-jangan saya sendiri yang kurang jeli dalam mengamati perkembangan subkultur di kota Solo. Dan tanda tanya itu semakin mengusik pikiran mengingat pada tahun yang sama, ranah arus-samping di kota tetangga Yogyakarta sedang moncer-moncernya. Salah satunya saya takar dari keberhasilan kawan-kawan di sana mendokumentasikan perkembangan subkultur di kota tersebut melalui rilisan album kompilasi Jogja Istimewa 2010. Rekaman yang dirilis sesaat setelah bencana Merapi dan berbarengan dengan panasnya suhu politik tatkala status keistimewaan Jogja dipertanyakan ini seakan menjadi manifesto para penggerak subkultur kota tersebut bahwa Jogja harus diperhitungkan. Tak heran jika kemudian di penghujung tahun berbagai media maupun pengamat musik selalu mencantumkan album itu dalam deretan album terbaik sepanjang 2010.

Melalui rilisan berisi 10 single terbaru dari 10 band Yogyakarta ini saya kok merasa ditampar habis-habisan seumpama bocah yang kena gaplok sebab terlalu asyik melihat taman di halaman rumah tetangga dan membiarkan benalu merajalela di rumah sendiri. Atau jika membandingkan dengan Yogyakarta yang notabene hanya berjarak sepelemparan rudal dianggap terlalu naif (melihat struktur dan infrastrukturnya yang berbeda satu sama lain) kota-kota lain seperti Semarang misalnya, mereka masih memiliki jagoan lokal seperti Lipstik Lipsingyang mencuri perhatian lewat Icema Award. Bahkan untuk kota sekecil Purwokerto sekalipun -yang saking kecilnya, kata beberapa kawan yang pernah nge-gigs di sana, harus main di bengkel yang disulap jadi panggung- mereka punya band seperti Tunas Bangsa Symphony yang beberapa tahun lalu melejit setelah mencuri tempat dalam album kompilasi LA Indiefest. Maka tanpa mengecilkan band-band yang sudah mapan di Solo, saya kok terpaksa harus bertanya, "Wahai Solo, kalian ngapain aja?"

Demi mengobati rasa ingin tahu maka saya mencoba untuk mengenal lebih jauh subkultur musik di Solo. Selama kurang lebih enam bulan mencari meski dalam keterbatasan akses mengingat bahwa di Solo ini saya bukan siapa-siapa, tidak kenal siapa-siapa, dan tak punya apa-apa, saya menyimpulkan bahwa penilaian saya (mungkin) keliru. Terlepas dari berbagai kondisi minus yang membuat perkembangan musik indie di kota ini terlihat mandeg, potensi untuk berkembang sebenarnya ada. Barangkali yang diperlukan hanyalah keberanian untuk melawan mitos. Tentang kota Solo yang melulu kota budaya tradisi dan kota batik, tentang Solo yang melulu underground, tentang Solo yang konon anak mudanya miskin apresiasi. Mewujudkan itu tentu tak semudah meneguk segelas jamu beras kencur, tapi apa salahnya mencoba optimis dan meyakini bahwa angin perubahan akan datang jika mereka yang terlibat dalam scene itu benar-benar berupaya.

Geliat-geliat kecil yang muncul seperti inisiatif untuk mendirikan Solo Blues Rock patut diacungi jempol. Mungkin pada mulanya memang sekedar wadah pertemuan dari beberapa band bergenre rock n roll, tapi siapa tahu jika nantinya bakal bermetamorfosis menjadi sebuah label seperti Mini Markas di kota tetangga. Saya sendiri menjadi saksi saat hadir dalam acara Quality in Minority yang mereka gelar di Gedung Kesenian Solo (GKS) awal bulan Januari tahun 2011. Meski dengan bujet minim dan kualitas tata suara yang pas-pasan, toh gregetnya tetap terasa. Hujan yang sejak sore mengguyur kota Solo hari itu memang sempat membuat saya pesimis. “Ah, paling-paling sepi kaya biasanya.” Dan saya keliru, malam itu GKS disesaki lebih dari 200 orang yang tak henti-hentinya bernyanyi dan bergoyang tanpa peduli pengap dan gerah. Band-band lokal seperti The Partinies, Soloensis, Holy Spirit, Sweet Killer atau Scootled menunjukkan tajinya sehingga membuat Mbek, vokalis The Samsul Hadi (band garage rock asal Jogja) yang kebetulan menutup acara tak hentinya-hentinya meneriakkan kata ngent*t saking herannya melihat antusiasme crowd.

Perihal kesadaran untuk berkomunitas, Solo juga memiliki Solo Rumble Crew; sebuah kolektif yang terdiri dari anak muda penggemar hardcore. Dengan mengangkat etos DIY (do it yourself) dalam setiap acara yang mereka selenggarakan, Solo Rumble Crew terbilang cukup intens dalam menggelar gigs. Dalam sebulan, jagoan hardcore lokal seperti Gerbang Singa maupun pengusung genre mathcore First Flower After Flood bisa dipastikan naik panggung dan menyulut antusiasme mereka yang hadir untuk turut moshing dan slam dance sembari sesekali meloncat ke tengah panggung untuk berstage diving. Ini belum termasuk studio gigs atau acara-acara “dadakan” saat ada band luar sedang melakukan tur di Solo.

Momen-momen kecil seperti tersebut di atas, semakin membuat saya yakin bahwa indie Solo belum mati. Dan diam-diam, saya mulai bermimpi jika suatu hari nanti anak muda di Solo bisa punya webzine musik sendiri, punya net label yang menampung rilisan band-band lokal, bisa lebih sering manggung tanpa harus menunggu undangan pensi, bisa rekaman tanpa harus menabung berbulan-bulan karena ongkos recording yang mahal. Dan saya pun yakin, jika itu semua sudah terwujud, saya tak perlu lagi mendengar keluhan dari personel Bougenville, band twee-pop lokal itu, perihal ngedrop karena harus tampil diantara band-band bergenre metal dan punk. Mimpi saya terlalu tinggi ya? Rasanya tidak, jika melihat anak muda di Solo makin punya rasa memiliki terhadap musik indie dan sudi mensupport berbagai event yang terselenggara.Lagipula, jika kamu mengaku anak muda Solo, masak kamu rela kalo mata kamu hanya nonton Inbox dan telinga kamu hanya dijejali lagu te-i-en-je-a? Come on, avoid the mainstream dude, people get lost in there.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun