Mohon tunggu...
Nanang Musha
Nanang Musha Mohon Tunggu... -

A modest megalomaniac. A retired rebel. A splendid combination of trouble and talent. \r\n

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Sebab Jatuh Itu Sakit (Kecuali Engkau Sekuntum Bunga) *

8 Mei 2011   22:17 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:56 154
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku sedikit terkejut saat dalam pesan singkatmu engkau menyatakan bahwa lagu Jatuh Cinta Itu Biasa Saja karya Efek Rumah Kaca mengingatkanmu akan seseorang yang engkau cintai. Aku tersenyum membacanya-tentu sembari membayangkanmu mengipas-ipas mata yang mulai sembab. Dan ya, akupun dengan enteng menjawab: "Namanya jatuh, pasti ga enak."

Salah satu alasan mengapa aku mengagumi ERK adalah: kemampuan mereka menulis lirik berbahasa Indonesia dengan jernih dan jeli. Dan lagu itu, lagu yang kerap membuat matamu sembab itu, membuktikan kepiawaian mereka menulis lirik. Dan buatku, lagu itu seperti mengingatkan kita yang kerap semena-mena menggunakan kata cinta. Yang menurut ERK telah diobral dalam "nada-nada yang minor", dijadikan perhiasan untuk "ode pengusir rindu", dan akumulasi semua itu membuat "semuanya begitu klise." Maka bersyukurlah kita sempat hidup dan menemukan sebuah band yang dengan lirih bergumam, "Jika jatuh cinta itu buta, berdua kita akan tersesat." Oh, betapa sederhana. Betapa rendah hatinya. Ketika kata yang sudah sedemikian usang itu ditempatkan kembali ke habitatnya. Dikembalikan lagi sesuai nature-nya. Sesuai porsi.

Aku rasa, para nenek moyang kita penutur bahasa Melayu pun menyadari itu. Sebab itulah mereka menggunakan kata jatuh cinta. Ya, jatuh cinta. Tak perlu menjadi jenius untuk tahu bahwa yang namanya jatuh itu cenderung tidak menyenangkan. Maka dalam kata jatuh cinta itu, nenek moyang kita seolah mengingatkan agar kita berhati-hati: menjaga keseimbangan sembari menjaga segala sesuatu tetap berada dalam proporsi yang tepat.

Tentu kau sadari bukan bahwa alam semesta ini bekerja dengan asas keseimbangan? Ketika sesuatu tak lagi seimbang, tak lagi ditempatkan sebagaimana mestinya, sesuatu akan dengan sendirinya rusak. Dari sistem paling rumit seperti tubuh manusia atau instalasi nuklir sampai yang sederhana seperti jam weker di kamar tidurmu, jika komponen di dalamnya tak ditempatkan sebagaimana mestinya atau tak lagi bekerja, hasilnya sudah tentu proses akan berjalan kacau dan tidak normal.

Dan sialnya, kita (iya, termasuk aku juga) kerap melupakan itu. Terlalu kerap rasanya kita mengaku tengah mencintai seseorang, padahal perasaan itu bertolak dari inferioritas. Kita merasa kurang akan sesuatu, lalu berusaha menggenapinya dengan kehadiran seseorang. Dan ketika keinginan itu tidak terpenuhi, serta merta kita merasa lowong. Merasa ada hak kita akan sesuatu tak ditunaikan oleh orang lain. Jika begitu, masih pantaskah itu disebut cinta, jika ternyata kita telah terjerat oleh hasrat ingin menguasai atau memiliki?

Yang lebih keterlaluan adalah saat seseorang terperangkap menikmati cinta yang hedonik lantas melabeli "itu" sebagai cinta. Dan sialnya, betapa banyak orang yang tak lagi bisa membedakan antara jatuh cinta dan ketertarikan seksual? Okelah. Tak harus membaca Art of Loving-nya Erich Fromm untuk tahu bahwa ketertarikan seksual bisa menjadi variabel dalam mencintai seseorang. Tapi plis dong ah, melakukan sesuatu dengan cinta, selayaknya lepas dari persoalan memiliki, menguasai, atau tuntutan akan timbal balik. Mencintai ya mencintai saja. Titik. Ini persamaan sederhana. Jika seseorang lelaki [sebut saja namanya Dika] mencintai seorang perempuan [sebut saja namanya Dita], dan kebetulan Dita juga mencintai Dika, maka tak perlu lagi deh Dika bilang, "Aku ingin dicintai Dita."

Lalu bagaimana jika ternyata Dita tidak mencintai Dika? Jawaban saya: "Ya sudah." Bukankah mencintai itu kata kerja aktif? Mencintai tidak sepatutnya diboncengi oleh ego, rasa ingin memiliki sesuatu, serta kebutuhan untuk diakui lebih dari yang lain. Jika kemudian kamu bertanya, "Apa iya semudah itu mas?" aku bilang, mari kita belajar lagi untuk menempatkan segala sesuatu sesuai proporsi. Dan kita beruntung punya ERK, yang bisa mengingatkan kita untuk menjaga agar nalar dan pikiran tetap waras disaat badai melankoli menghampiri.

Kamu tak harus mengamini apa yang kusampaikan di sini. Toh aku hanya berbagi. Memastikan bahwa kamu akan menjalani prosesmu dengan baik. Menyadari bahwa hidup memang dipenuhi dengan pilihan berikut konsekuensi yang harus kita tanggung. Keliru dalam melangkah? Ah biasa, toh kita masih manusia. Bukan bunga atau dedaunan yang bisa jatuh berguguran dengan tenang. Bunga tak pernah menoleh kepada pohon dimana mereka tumbuh, rumah mereka yang pernah lama mereka tinggali. Bunga jatuh begitu saja. Tanpa sesal. Tanpa duka. Mereka telah menikmati hangat matahari, temaram rembulan, gemerlap bintang. Bunga menari bersama hembus angin bersama rintik hujan. Mereka menari dan merayakan proses. Dan jika harus jatuh, mereka jatuh tanpa sesal tanpa dendam. Bisakah kita? Mari kita coba.

__________

*  Ini sebenarnya "sms balasan" untuk seorang kawan yang saya kenal pertengahan 2010. Saat merapikan folder tulisan dan membacanya kembali, jadi gatel pingin membaginya di sini. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun