KEKERASAN ATAUKAH SEKEDAR PEMBELAJARAN?
Oleh: Nanang M. Safa
Kekerasan yang dilakukan seorang guru kepada peserta didiknya sekecil apapun nampaknya selalu menjadi berita hangat dan perbincangan yang menghebohkan, biarpun seringkali pula "kekerasan" tersebut nyatanya hanyalah sekedar "kesalahpahaman" akibat macetnya komunikasi antara guru dan peserta didik. Padahal ketika warga masyarakat lain berbuat hal yang sama atau bahkan lebih parah maka beritanya biasa-biasa saja.
Memang, dengan alasan apapun seorang guru tidak dibenarkan melakukan kekerasan dalam bentuk apapun; fisik lebih-lebih psikis yang akan berdampak pada perkembangan jiwa anak (baca: peserta didik).
Guru adalah seseorang yang telah dianggap matang/dewasa termasuk di dalamnya adalah kematangan emosi, artinya seorang guru seharusnya orang yang bisa memenej emosinya sehingga sikap dan perilakunya selalu diperhitungkan dan ditimbang secara matang. Namun demikian "guru juga manusia" biasa yang memiliki tingkat kesabaran terbatas.
Pengendalian emosi kadang menjadi hal yang sangat sulit dan berat di saat banyak beban yang harus ditanggung seorang guru baik menyangkut tuntutan keluarga maupun beban di tempat kerja. Apalagi ketika seorang guru secara fisik lelah maka dalam keadaan seperti itu sudah tentu hal kecil pun bisa memicu meledaknya emosi, Namun demikian, sebagai manusia terdidik yang sudah memilih jalan hidup sebagai pendidik dan sudah dikukuhkan oleh masyarakat sebagai orang yang bertanggungjawab untuk mendidik, tentu sudah sangat faham bahwa dunia yang diterjuni adalah dunia yang mengaduk-aduk emosi. Jadi dalam keadaan bagaimanapun sudah semestinya seorang guru sedapat mungkin mengendalikan emosi yang bergejolak dengan cara dan bahasa masing-masing.
Menilik pada beberapa kasus kekerasan yang sempat terekspose ke media massa akhir-akhir ini, sepertinya hal paling mendasar yang perlu dibenahi adalah masalah komunikasi. Kekerasan yang muncul serta berlanjut ke ranah hukum mestinya bisa diselesaikan dengan cara-cara yang lebih bijak jika saja ada jalinan komunikasi yang baik. Macetnya komunikasi ini akhirnya menimbulkan kesalahfahaman yang berlanjut pada "pemukulan" dan berakhir pada pelaporan ke polisi.
Komunikasi yang baik juga tidak cukup hanya antara guru dan peserta didik, namun harus menjangkau kepada orang tua atau wali murid. Hal ini sangat penting mengingat sikap dan perilaku anak di rumah seringkali tidak sama dengan sikap dan perilaku anak di sekolah. Bahkan sering terjadi anak pamit kepada kedua orang tuanya secara baik-baik berangkat ke sekolah dengan pakaian lengkap namun ternyata anak tidak hadir di sekolah. Jika antara pihak sekolah dan orang tua siswa tidak ada jalinan komunikasi yang baik maka ketika terjadi sesuatu di luar kemauan orang tua, maka yang muncul adalah sikap saling menyalahkan dan mencari pembenaran diri. Maka salah satu hal yang bisa dilakukan adalah selalu menjembatani jurang kesalahfahaman dengan jalinan komunikasi multi arah secara baik.
Selanjutnya pihak sekolah juga harus selalu berupaya memaksimalkan pelayanan pendidikan di lembaganya. Kelas-kelas yang kosong (tidak ada yang mengajar) sering pula memicu tindakan negatif yang berujung pada kekerasan. Ketika peserta didik tidak terkondisikan secara baik di kelas maka yang paling lazim dilakukan adalah berbuat gaduh dengan memukul-mukul meja, nyanyi-nyanyi, dan teriak-teriak, akibatnya tentu saja ruang kelas di sebelahnya yang sedang melaksanakan proses pembelajaran terganggu.
Dari sekian faktor yang menjadi andil terjadinya kekerasan di dunia pendidikan tersebut ada satu kegelisahan yang belum terjawab di kalangan para guru yaitu kekaburan penafsiran tentang batas-batas tindakan guru yang dikatagorikan sebagai tindak kekerasan. Jika cuma sekedar "njewer" untuk memberikan pembelajaran pada siswa yang "sudah keterlaluan" atau ketika seorang guru terpaksa harus "nylenthik" siswa dengan maksud untuk menegakkan disiplin saja dianggap sebagai tindakan kekerasan dan akhirnya dipolisikan maka dikhawatirkan akan terjadi kecuekan massal di kalangan para guru sehingga siswa yang melanggar aturan hanya dibiarkan dan pada akhirnya siswa akan berbuat semau-maunya karena merasa ada yang membela dan melindungi. Lalu apa artinya aturan dan tata tertib di sekolah? Lalu siapa yang harus disalahkan jika anak tak lagi santun? Lalu hendak ke mana generasi bangsa akan dibawa? Mari kita renungkan sejenak.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H