Sepulang kerja, malam ini saya menonton tivi sembari makan. Sayur bayam hangat rasanya cukup segar mengguyur lelah perjalanan panjang untuk pulang. Tidak disangka yang saya tonton adalah acara Mata Najwa dengan tajuk Generasi Pembelajar. Acara itu digelar di Yogyakarta, tepatnya di banteng Vredebrug dekat Malioboro.
[caption id="" align="aligncenter" width="410" caption="Sumber gambar: http://yogyakarta.panduanwisata.id"][/caption]
Sepintas acara itu nampak biasa. Namun, paparan Mentri Pendidikan Dasar dan Menengah, Pak Anis Baswedan, menandakan bahwa acara itu digelar sebagai rangkaian peringatan hari Pendidikan nasional Indonesia. Pak Mentri sempat berkomentar dan berpetuah tentang pentingnya integritas di negeri ini. Pelaksanaan Ujian Nasional dan Olimpiade Nasional yang dilaksanakan di Yogyakarta pada hari-hari sebelumnya menjadi momen yang tidak terlepas dari isi pesan Pak Mentri. Bahwa keberhasilan atau kesuksesan dicapai dengan kerja keras, bukan dengan kecurangan. Dengan demikian kejujuran menjadi indikasi integritas yang dimiliki oleh seseorang sebagaimana para pendiri bangsa Indonesia jaman dahulu yang juga memiliki integritas. Ki Hajar Dewantara pernah juga mengatakan bahwa kemerdekaan dapat dicapai dengan ilmu.
Bagi saya, sungguh dalam paparan Pak Mentri tersebut. Terlebih lagi, acara itu dihadiri oleh mayoritas para peserta Olimpiade yang masih muda dan belia. Sembari memperhatikan isi perbincangan, tidak lupa saya menyuap diri saya sendok demi sendok sayur bayam berkuah segar itu.
Tidak lama berselang, diundanglah dua orang pemuda dan pemudi sebagai alumni Olimpiade Nasional. Keduanya Nampak masih sangat muda. Tidak meleset dugaan saya, bahwa sang pemudi adalah seorang mahasiswi S1 jurusan Astronomi ITB dan sang pemuda sekitar lulusan SMA. Kedua pemuda dan pemudi ini adalah dua orang contoh yang hendak diwawancarai dalam acara tersebut. Keduanya pernah memenangi beberapa ajang olimpiade baik di dalam maupun luar negeri dengan hasil medali emas dan beberapa lain medali perak dan perunggu. Bagi saya itu mengagumkan, bagaimana tidak?
[caption id="" align="aligncenter" width="369" caption="Sumber gambar: https://twitter.com/matanajwa"]
Pada saat melewati sesi wawancara, keduanya ditanya oleh sang presenter: bagaimana latar belakang keluarga kalian? Kedua orang itu berasal dari keluarga kurang beruntung secara ekonomi. Si pemudi menceritakan bahwa ayahnya dahulu adalah seorang nelayan, dan ibunya petani. Sepeninggalan ayahnya ketika masih SD, ibunya bertani sembari menjadi pedangang ikan keliling. Selain itu, si pemuda menceritakan bahwa ayahnya adalah seorang tukang sol sepatu dan ibunya adalah ibu rumah tangga dengan warung kelontong di rumahnya.
Si Presenter nampak terheran-heran, bagaimana dengan kondisi keluarga yang demikian, mereka dapat mengukir prestasi dalam olimpiade bahkan sampai tingkat dunia. Apakah gerangan sesuatu yang membuat mereka dapat mencapai prestasi yang begitu bergengsi?
Pemudi itu menceritakan bahwa ketika ayahnya masih hidup, beliau sering menanamkan mimpi padanya. Ayahnya sering bicara bahwa mereka akan ke Jakarta bersama-sama. Selain itu, mereka akan ke Amsterdam bersama-sama. Bagi si pemudi, kenangan itulah yang tertanam kuat sehingga ia memiliki impian yang membakar semangatnya hingga sekarang menempuh studi di ITB tanpa membayar. Lebih dari itu, ia menyadari bahwa banyak anak-anak lain yang sebenarnya mampu untuk mencapai lebih dari apa yang mereka tempuh sekarang. Mereka dapat memperoleh fasilitas pendidikan yang lebih layak sehingga mereka dapat menumbuhkan benih-benih potensi pada dirinya sehingga mencapai sebuah keberhasilan.
Lain cerita, si pemuda menceritakan hal yang sedikit berbeda. Ia terdorong untuk mengikuti olimpiade dan menjuarai berbagai perlombaan karena itulah passion-nya. Itulah minatnya sehingga ia tertuntun terus menerus dan akhirnya jalan menghantarkannya untuk mendapatkan beasiswa untuk menempuh kuliah di sebuah perguruan tinggi di Jerman pada program Matematika.
Dari cerita kedua orang pemuda dan pemudi tersebut, nampaknya keterbatasan bukanlah hambatan untuk mencapai sesuatu. Seseorang dapat mencapai sesuatu karena ia memiliki impian yang tertanam dalam dan juga karena mengikuti minat atau passionnya. Dengan meyakini sebuah impian dan menekuni minat ternyata keterbatasan dengan sendirinya mengecil dan tergantikan dengan peluang. Jalan yang awalnya tidak terbayangkan ternyata perlahan mulai terbuka seiring dengan kemauan yang tidak pernah redup.
Seorang psikolog Austria, Alfred Adler menyebut ini sebagai fictional finalism atau fiksi bayangan akhir dari sebuah proses. Bayangan ini berperan sebagai sebuah tujuan yang masih samar-samar atau sebatas fiksi, tapi bisa dilihat jelas oleh orang itu. Kondisi akhir itu Nampak jelas bagi seseorang bahkan dapat divisualisasikan dalam fikiran. Dengan tujuan yang jelas ini, secara sadar orang akan tahu kemana ia akan pergi dan apa yang mereka butuhkan untuk mencapai tujuannya itu. Selain itu, secara tidak sadar ia akan terfokus pada tujuan akhir itu sehingga timbullah keyakinan yang bahkan kadangkala tidak dapat dinalar. Selain itu, Adler menjelaskan bahwa ketika seseorang yang mengalami kondisi terpuruk atau kurang menguntungkan pada masa kecilnya, ia akan mengalami rasa rendah diri atau lemah. Dari perasaan lemah itulah kemudian ia memiliki dorongan untuk menjadi superior atau lebih dari dirinya sebelumnya. Dengan demikian, kendala atau hambatan yang pada awalnya berperan sebagai sebuah beban, ketika ia memanfaatkan dorongan itu, beban tadi berubah menjadi bandul pelontar sehingga ia akan terlempar melejit ke posisi yang lebih tinggi.
Dengan memperhatikan apa yang dikatakan Adler tersebut, saya justru melihat makna pendidikan dari cerita kedua pemuda dan pemudi itu. Bahwa pendidikan adalah sebuah gerakan untuk membela mereka yang lemah dan kurang beruntung sehingga menjadi berdaya. Pendidikanlah yang memegang peran sentral dalam mengikis segala rasa rendah diri dan lemah yang sering dialami oleh sebagian anak negeri hanya karena mereka hidup di lapisan bawah. Maka dari itu, pendidikan bukan sekedar memanjakan mereka yang dianggap pandai, tetapi juga menyemangati mereka yang tertinggal. Melalui itulah sehingga tertanam nilai bahwa prestasi bukan berarti lebih baik dari teman lain, melainkan lebih baik dari diri sendiri yang sebelumnya dan bermanfaat bagi sesama.
Melihat kisah pemuda dan pemudi dalam acara talk show itu, saya memetik beberapa kesimpulan. Saya menengarai bahwa ternyata tidak selalu benar ketika keberhasilan seseorang itu dihalangi oleh keterbatasan dan bahwa keterbatasan itu adalah si biang keladi kegagalan seseorang dalam meraih sebuah impian. Saya kira keliru kalau keterbatasan adalah sumber alasan untuk berhenti berharap ketika seseorang lelah mencoba. Lain dari kesemuanya itu, saya malah merenungi bahwa keterbatasan itu adalah ladang untuk menanam harapan. Di sanalah kita bisa menyemai semangat, dan di tempat itulah kita bisa menancapkan impian dalam-dalam sehingga kelak kita dapat menyemai sebuah keberhasilan. Melalui keterbatasan itulah kita bisa menempa diri untuk melihat diri sendiri di masa depan dan merencanakan sebuah proses yang disebut dengan passion. Tanpa keterbatasan kita hanya terbiasa dengan kelebihan yang lambat laun dapat membuat lupa bahwa kita sebenarnya adalah generasi pembelajar.
Yogyakarta
28 Mei 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H