Ponorogo (11/12/16)-, Sekolah Literasi Gratis (SLG) kembali adakan gelaran inspiratif ke empat belas kalinya. Ada cerita yang sangat menarik dari pertemuan SLG kali ini. Malam itu, di sekertariat literasi Jl. Halim Perdana Kusuma, Ponorogo, tepatnya di rumah baca Sutejo Sepectrum Center (SSC)kedatangan dua tokoh yang sangat inspiratif. Dua tokoh tersebut yang akan menjadi pemateri di SLG pertemuan ke dua di angkatan empat pagi harinya. Ia bermama M. Husnaini penulis buku Islami, dan kolom hikmah, motor Sahabat Pena Nusantara (SPN), dan tamu dari negari tetangga –Thailand—Muhamad Rosul Bin Kosim atau yang akrab disapa Mahroso Doloh.
Malam itu bersama teman-teman literasi dari komunitas Himpunan Mahasiswa Penulis (HMP); Agus Setiawan, Sahrum, Suci, Sri, Rizal, Yoga, ketua Adat SLG Dr. Sutejo, M.Hum dan yang lainnya bersama-sama tukar pengalaman dalam forum diskusi literasi yang sangat menarik.
Pertemuan kedua pemateri tersebut dengan Pak Tejo (sapaan akrab Dr. Sutejo, M.Hum dimulai secara kebetulan di sosial media, dengan melihat status-statusnya yang inspiratif, kemudian saling sapa melalui inbox dengan bertukar cerita sampai tukar buku. M. Husnaini yang pada kesempatan itu datang lebih awal sekitar pukul 08:00 WIB dari Jobang. Ditemani keponakannya yang kebetulan kuliah di UIN Yogyakarta. Malam itu banyak pembahasan yang menjadi jembatan malam, dan melupakan kantuk.
M. Husnaini dengan kepiawaiannya berbicara, bercerita mengenai pengalamannya untuk mengawali diskusi malam itu. Sebelumnya ia sempat tercengan setelah melihat sekertariat literasi degang penuh buku, “Luar biasa, ini sangat luar biasa”tutur lelaki berkacamata itu sambil memasuki ruang sekertariat. Beliau duduk dan tak henti melihat kanan kiri depan belakang diding yang dipenuhi buku-buku. Di sela itu beliau langsung bercerita tentang dirinya saat memulai karir literasinya sejak tahun 2006. Dari keinginanya membentuk komunitas literasi di media whatsappsebagai bahan diskusi mengenai permasalahan yang banyak dihadapi beberapa orang, diantaranya keinginan menjadi penulis tetapi tidak bisa nulis, bisa nulis tapi bingung penerbitan serta bisa menerbitkan tetapi bingung pemasaranya.
Usaha pembentukan grup tersebut tidak lain sebagai wadah diskusi untuk memecahkan permasalah-permasalahan tersebut. Namun sejalan waktu, tidak sesuai dengan harapan. Karena banyaknya sudut pandang, gagasan, juga ide-ide dari masing masing pemilik akun pribadi whatsapp, yang tidak lain adalah para penulis piawai sampai penulis awam. Grup malah menjadi bahan pertengkaran, olok-olokan, juga rasan-rasan(gosip).Akhirnya bersama Much. Koiri (pengagas literasi UNESA), yang juga bagian dari anggota gruptersebut membuat kesepakatan untuk membuta kopar (kopi darat) setiap enam bulan sekali, dengan catatan setiap pertemuan harus menghasilkan satu buku, yang merupakan hasil tulisan dari anggota grup. Dalam setiap bulan masing-masing harus mengirimkan tulisan ke M.Husnaini (yang saat itu sebagai penyunting dan penanggung jawab penerbitan) dengan tema yang disepakati bersama tiap bulannya.
Dari perjalana itulah akhirnya, gagasan, ide, sudut pandang yang awalnya menjadi perdebatan di grupbisa cari dalam forum diskusi langsung, disertai dengan tulisan-tulisan yang sudah dibuat sebelumnya. Berawal dari grup sekarang menjadi komunitas Sahabat Pena Nusantara (SPN). SPN sudah melakukan kompdar ke berbagai tempat; tidak terkecuali ruang-ruang pendidikan, seperti perguruan tinggi dan lainnya. Bahkan SPN sampai saat ini mendapat dukungan dari para ahli, yang sekaligus pemateri di setiap kopdar. Dari perjalanan membentuk komunitas itu, M.Husnaini belajar banyak mengenai perjalanan menulis. Meski di awal perjalanannya ia hanya ingin menulis satu buku sebagai kenanagan hidup, namun kenyataannya sudah puluhan buku kini telah berhasil diterbitkannya.
Kini jiwannya telah menyatu menjadi penulis yang memiliki pemandangan yang luas. Salah satu bukunya yang sangat menarik berjudul Indonesia Kok Dilawan. Sampai akhirnya ada pesan menarik dari pergulatannya menekuni dunia literasi, bahwa “dengan menulis saya bisa jalan-jalan ke Mekkah, Kuala Lumpur, secara gratis”Ucap laki-laki yang kini sedang sibuk menyunting puluhan buku.
Di kesempatan lain Muhamad Rosul Bin Kosim, penyair muda asal Thailand juga menyampaikan beberapa perjalanannya sebagai penulis. Beliau datang ke Indonesia pada tahun 2012 dengan menempuh pendidikan S1 di Universitas Purwokerto, dan pendidikan pascasarjana (S2) di Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Pertama di Indonesia beliau tidak bisa bahasa Indonesia sama sekali. Bersama Heru Kurniawan, salah satu dosennya ia memulai belajar Bahasa Indonesia. Salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan membaca buku-buku Bahasa Indonesia dan menulis menggunakan bahasa Indonesia. Beberapa tulisan yang dibaca dan sampai saat ini dikaguminya adalah karya Pramudya Anantatoer dan N H Dini. Beliau melihat, bahwa bahasanya sangat menarik dan memiliki kekhasan sendiri. Dari hal tersebut beliau dapat melihat bagaiman keramahan penulis dalam menyampaikan makna melalui tuliasnnnya. Sejak itulah yang membuat dirinya semakin kuat untuk menggeluti bahasa Indonesia (khususnya dalam dunia literasi). Sampai saat ini, terhitung empat tahun berada di Indonesia, lelaki yang akrab dipanggil Mahroso Doloh tersebut sudah memiliki buku puisi pribadi, salah satu karyannya berjudul KiblatCinta; Kumpulan Sajak Suara Bunga Patani.
Pertemuan yang berlangsung lama, dari sekretariat sampai ruang SLG –minggu paginya (11/12/16)- di Graha Saraswati STKIP PGRI Ponorogo memiliki pesan menarik untuk dipahami bersama mengenai jejak kepenulisan. Seperti ungkapan Asma Nadia bahwa, dengan menulis Kita bisa memilih duniadan menulis itu jalan kebebasan untuk menemukan jati diri yang sesungguhnya.
Dalam forum SLG, kedua pemateri memberikan tips-tips sebagai seorang penulis. M.Husnani mengintruksikan menulis itu mudah, sama halnya ketika ditanya apa warna kesukaanmu, dan kamu dengan cepat menjawab merah. Siapa saja boleh menulis, tidak terkecuali orang yang tidak berpendidikanpun. Sebab syarat menulis tidak harus sarjana, tetapi cukup mau menulis dan dan terus membaca. Karena menulis merupakan salah satu dari tiga kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan dalam hidup ini. Sedangkan yang dua adalah membaca, dan berpikir.