Mungkin inilah restoranya anak kost atau bisa disebut tempat nongkrongnya para pecinta makanan khas berselara dengan harga minimalis namun kualitas romantis. Seiring pergantian jaman, sudah banyak anak muda yang sering dan malah menjadikan tempat tersebut sebagai tempat berkumpul atau hanya sekedar sharing. Bahkan tak sedikit yang sengaja datang bersama pasanganya atau bahkan keluarganya, mungkin sekarang sudah tidak tabu lagi bagi sebagian kalangan masyarakat menengah ke atas untuk datang ketempat tersebut.
Dari sebuah kesederhanaan, sekarang mulai menjelma menjadi sebuah bisnis yang menguntungkan namun penuh persaingan. Bisa dilihat dari jumlahnya yang begitu banyak didalam kota, malah bahkan dipinggir atau luar kota. Yang mulanya hanya berdomisili dari pinggir jalan, sekarang sudah mulai merambah ke warung-warung atau bahkan restoran. Namun ciri khas yang seharusnya ada dan harus disajikan adalah ke khas’an suasana pinggir jalan, tikar-tikar yang tergelar dengan rapi di trotoar, dan juga kursi-kursi kayu yang tertata rapi disamping gerobak. Dengan sinar lampu minyak dan bara api dari anglo (tungku dari tanah liat). Suasana riyuh dipinggir jalan pun mulai terasa hangat.
Entah dulu siapa yang memulai, atau bisa disebut sebagai pencipta atau pencetus dari sajian sederhana ini. Ada yang menyajikan dengan lesehan dan daganganya di pikul, ada yang menyajikan dengan gerobak, ada yang seperti rumah makan, dan mungkin masih banyak inovasi-inovasi lain yang mungkin akan bermunculan.
Ibarat sebuah produk yang tak lekang oleh jaman, memang ini hanyalah makanan sederhana dengan sajian yang simple. Mungkin, bisa juga dibilang unik.
Tempat yang bagus, biasanya tak hanya sekedar menjual atau menyajikan makananya saja. Tapi juga menyuguhkan wadah atau tempat yang nyaman. Tapi sayangnya, tempat-tempat tersebut berada dipinggir jalan. Itu yang biasanya membuat para pejalan kaki menjadi kurang nyaman. Seharusnya, pemerintah bisa menyediakan atau setidaknya mengatur tata ruang kota sedemikian rupa, sehingga ini bisa menjadi salah satu aset atau ikon makanan khas dari Yogyakarta. Walaupun ada sebagian yang berasal dari luar kota, namun mereka tetap mempertahankan kultur dan juga budaya yang ada.
Secara segi rasa, tak kalah dengan sajian-sajian dari restoran-restoran unggulan. Selain makanan kecil, minuman hangat dari ceret (teko) yang direbus atau dimasak dengan anglo sangatlah nikmat. Ada perpaduan antara jahe susu, kopi susu, teh susu, teh jahe, atau SUPIE singkatan dari Susu Kopi dan Jahe. Kita juga bisa membakar makanan dengan bara api arang dari anglo. Tak sedikit pembeli yang meminta penjual untuk membakarkan makanan.sepertijadah (makanan yang terbuat dari ketan), sate usus, sate telur puyuh, sate berutu, sate ati, sate bekicot (siput), ceker (kaki) ayam, kepala ayam, gorengan, dan makanan-makanan lain yang bisa dibakar. Tapi jangan membakar rambak (kerupuk) karena rasanya aneh.” Saya pernah mencobanya soalnya”.
Jika kalian para wisatawan, mahasiswa baru atau para pendatang dari luar kota. Dan berminat untuk mencoba sajian khas berselera dan sederhana di kota Yogyakarta. Coba datang ke daerah sekitaran Malioboro, samping stasiun Tugu, depan KR, depan Rs. Bethesda, daerah Alun-alun utara, Alun-alun selatan, dearah Pakualaman, dan setiap jalan raya atau jalan kecil di Yogyakarta, kalian pasti akan menemukan Warung Angkringan. Yak, Angkringan.. Sajian sederhana dari Jogjakarta dengan kualitas yang suatu saat mungkin bisa mendunia.
Saran saya, cobalah ke Angkringan pada malam hari dan bersama teman atau pasangan. Jika berhasil menemukan tempat yang pas, maka suasana Romantis dan hangat akan menghampiri anda. Selamat Berburu Angkringan.. m/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H