Didalam kehidupan saat ini, dimana secara hubungan sosial manusia kehidupan antara dunia nyata dan dunia media sosial hampir tidak dapat dipisahkan. Banyak yang menjadikan postingan di medsos itu menggambarkan kehidupan yang bersangkutan di dunia nyata, akan tetapi dalam kenyataannya banyak kejadian yang menunjukkan bahwa itu adalah sebuah fake situation. Fenomena ini banyak disebut sebagai flexing atau kebutuhan validasi diri seseorang dari orang lain.
Flexing adalah perilaku pamer atau menunjukkan kekayaan, pencapaian, atau aset pribadi secara berlebihan, terutama di media sosial. Tujuan dari flexing sering kali untuk mendapatkan pengakuan, pujian, atau validasi dari orang lain. Contoh flexing bisa berupa seseorang yang memamerkan barang-barang mewah seperti mobil, pakaian desainer, atau liburan mewah dalam upaya untuk menunjukkan status sosial atau keberhasilan finansial mereka.
Validasi diri adalah kemampuan untuk mengakui, menghargai, dan menerima perasaan, pemikiran, dan pengalaman kita sendiri tanpa bergantung pada persetujuan atau pengakuan dari orang lain. Ini berarti kita memberi nilai pada pandangan dan emosi kita sendiri, dan tidak selalu mencari pengesahan dari lingkungan luar. Validasi diri penting untuk kesejahteraan emosional dan kesehatan mental kita karena ini membangun kepercayaan diri dan ketahanan terhadap stres serta tekanan sosial.
Contoh validasi diri adalah ketika Anda merasa bangga dengan pencapaian Anda, meskipun orang lain tidak mengakuinya, atau ketika Anda menghargai perasaan Anda tanpa merasa perlu meminta persetujuan atau pemahaman dari orang lain. Dengan latihan validasi diri, kita dapat belajar untuk merasa lebih aman dan puas dengan diri kita sendiri, dan mengurangi ketergantungan pada validasi eksternal.
Jadi seyogyanya melihat dari pengertian validasi diri, pencapaian seseorang didalam kehidupan pribadi bukan sebuah ukuran, setipa pribadi harusnya bangga dengan pencapaian masing-masing sehingga tidak perlu flexing untuk menunjukkan pencapaian sehingga mengharapkan pujian atau pengakuan dari orang lain.
Perilaku flexing atau kebutuhan validasi dari oang lain ini bisa memiliki dampak negatif, seperti menimbulkan perasaan iri pada orang lain, menciptakan tekanan sosial untuk mempertahankan citra tertentu, dan bahkan menyebabkan ketidakpuasan diri karena terus-menerus membandingkan diri dengan orang lain.
Didalam beberapa penelitian, dampak negatif flexing menunjukkan hasil sebagai berikut :
1. **Pengaruh terhadap sikap investasi**  : Penelitian M Aditya Wijaya dalam skripsinya yang berjudul Pengaruh Fenomena Flexing Terhadap Sikap Investasi Masyarakat Dengan Aspek Prudential Sebagai Variabel Moderasi  menunjukkan bahwa fenomena flexing dapat mempengaruhi sikap investasi masyarakat, terutama generasi Z. Hal ini bisa menyebabkan individu untuk berinvestasi tanpa mempertimbangkan risiko dengan benar. Jika mengacu kepada hasil penelitian ini terasa valid karena baru saja kita dihadapkan dengan kasus dua influencer yang seolah kaya raya dan suka bagi bagi duit, menjelaskan bahwa mereka berinvestasi di suatu platform tertentu. Ternyata platform itu adalah sarana penipuan dalam mengeruk harta korbannya yang ikut ikutan biar kaya.
2. **Pengakuan kelas sosial**: Flexing sering digunakan sebagai cara untuk mendapatkan pengakuan kelas sosial di media sosial. Hal ini bisa menimbulkan kesalahpahaman tentang status sosial dan kekayaan sebenarnya
3. **Dampak negatif pada kesejahteraan psikologis**: Menurut penelitian Aysabila Febrianti Ardani (2023) dalam Skripsinya yang berjudul Tren Flexing Di Media Sosial Ditinjau Dari Perspektif Etika Sufistik Imam Al ghazali, perilaku flexing dapat menimbulkan rasa iri dan gangguan kepribadian pada diri sendiri . Flexing juga dapat menyebabkan sifat congkak. Dalam etika sufistik menunjukkan bahwa flexing dianggap sebagai perilaku yang buruk karena tidak seimbang dengan empat kemampuan yang seharusnya dimiliki seseorang, seperti kebijaksanaan dan keadilan.
Walaupun banyak penelitian yang menunjukkan dampak negatif flexing, bebrapa juga menunjukkan flexing juga dapat memotivasi orang lain. Akan tetapi di kehidupan nyata sesuai ajaran agama dan pendidikan moral, sikap pamer dan suka menunjukkan diri sebenarnya lebih mengarah kearah negatif, karena lebih dekat kearah kesombongan, menyebabkan kecemburuan sosial dan bagi yang melakukan flexing akan terbebani untuk selalu menunjukkan pencapaian atau sisi lain dirinya walaupun sebenarnya sudah diluar kemampuannya.
Hal ini menimbulkan fenomena akhir akhir ini seperti :
1.Naiknya pinjol dan pay later demi menunjukkan gaya hidup padahal sudah diluar kebutuhan dan kemampuannya
2.Penggelapan dana investasi atau dana kelolaan seperti arisan atau dana tempat usaha demi flexing.
Pada akhirnya kita kembalikan ke hakikat diri, Iblis dibuang dari surga karena apa? Salah satunya karena kesombongan. Dia merasa bahwa api lebih baik dari tanah. Kaya, memiliki banyak harta  jalan jalan keluar negeri, wajah cantik dan tampan menjadi ukuran agar diakui pihak lain dan banyak menyebabkan sikap negatif. Padahal seharusnya bukan itu tapi kesabaran, merasa cukup dan bersyukur itulah yang seharusnya menjadi tuntunan dalam bersikap.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H