"I may not have a mansion, I haven't any land, not even paper a dollar, to crinkle in my hands, but I can show you morning on a thousand hills, and kiss you and give you seven daffodils...."
                                                 Seven Daffodils, Four Brothers
Minggu pagi ini, setelah bantu beres-beres rumah dan membersihkan dua kipas angin yang kotor, saya mencoba membaca kembali Logoterapinya Victor Emil Frankl yang dikirim oleh guru saya, seorang wartawan senior yang baik hati, ditemani secangkir kopi pahit, dan lagu-lagu lama dari Four Brotherst. Pas Ketika lagu Seven Daffodils , tiba-tiba masuk lagu Lir-Ilir di salah satu group whatsapp dari seorang teman lama.
Tiba-tiba pikiran ini jadi melayang, ada dorongan yang sangat kuat untuk mempertanyakan kembali hakekat manusia; asal, keberadaan, dan tujuan manusia berada di dunia ini. Pertanyaan ini menjadi sangat penting dalam situasi Indonesia saat ini yang baru saja terjadi pemilu, dimana berita kecurangan dan ketidak-adilan pemilu berseliweran dalam sosial media, ditingkahi dengan euphoria kegembiraan dari pemenang pemilu berdasarkan hasil quick count. Masyarakat terbelah menjadi pemuja dan pembenci. Informasi mahalnya harga beras, sehingga ibu-ibu rela mengantri untuk mendapatkan beras 5 kilograman dengan harga murah, ditambah lagi berita-berita tentang ekonomi, pendidikan, ketenaga-kerjaan dan sebagainya yang sampai sekarang belum menemukan titik terang menjadikan perenungan keberadaan dan kebermaknaan kita sebagai manusia menjadi keharusan. Pikiranpun melayang mengingat kembali para pemikir bijak sejak jaman dahulu hingga kini, baik di Barat maupun di Timur, ajaran agama-agama serta keraifan local suku-suku bangsa yang mencoba menjawab asal, keberadaan dan tujuan hidup kita sebagai manusia. Keberadaan (eksistensi) dan kebermaknaan (meaning) kita berhubungan dengan sekitarnya, barangkali bisa "membahagiakan" kita dalam situasi sekarang ini.
Satu kata beribu-ribu makna kata Rumi, supaya pemahaman tidak kabur maka kamus menjadi penting dalam hal ini. Eksistensi berasal dari bahasa Latin Exisitere, Ex berarti "keluar" dan sistere yang berarti "tampil, muncul", sederhananya bisa diartikan sebagai "Apa yang ada" atau "Apa yang memiliki aktualitas", segala sesuatu yang dialami" dan  "esse" kesempurnaan (Lorens Bagus:2000). Heideggard mengartikan eksistensi sebagai "Das wesen des daseins liegh in seiner Existenz" adanya kesadaran manusia dengan tempat dan keberadaannya.
Sebagai sebuah aliran filsafat, eksistensialisme lahir sebagai antitesa dari filsafat "kahyangan", dimana alam ide dan rasio (esensi) telah membuat manusia menderita sebagai manusia yang ada yang dinafikan keberadaannya dengan dunianya. Hal ini diperparah lagi dengan adanya Perang Dunia (PD) yang telah meluluh-lantakan tatanan di dunia Barat, dan menghancurkan keyakinan banyak manusia, bahwa kemajuan teknologi dan peradaban akan mendatangkan kebahagiaan bagi manusia. Aliran ini tidak berdiri sendiri, tapi juga dipengaruhi oleh fenomonologi Hussrel dan filsafat kehidupan Bergson. Eksistensialisme banyak mempunyai pemikir-pemikir hebat; Heidegger, Kierkegaard, Sarte, Jaspers, Marcel dan sebagainya. Persamaan dari pemikira para tokohnya adalah Eksistensialisme itu; fokus pada cara manusia berada, eksistensi harus diartikan secara dinamis dan aktif (manusia adalah mystere kata Marcel), terbuka terikat pada dunia sekitarnya, dan pada pengalaman yang kongkrit. Â Secara sederhana adalah cara manusia berada di dalam dunia. Eksistensialisme teistik dipelopori oleh Kierkegaard, sementara yang ateistik dipelopori oleh Nietzsche. Dalam perkembangannya yang sangat pesat, terutama setelah PD II, eksistensialisme mempengaruhi perjalanan Psikoanalisa Eropa secara luas.
Victor Emil Frankl merupakan bagian dari sejarah perjalan psikonoanalisa yang diperngaruhi oleh filsafat eksistensialisme (C.P.Chaplin:1995). Britannica menulisanya sebagai "third school of Viennese psychotherapy", setelah psikoanalisa Sigmund Freud dan psikologi individual Alfred Alder. Dilahirkan dari keluarga Yahudi menengah di Austria (1905), memberikan kesempatan kepada Frankl untuk belajar spiritual, terutama tentang makna hidup dan bisa bersekolah hingga Universitas.Â
Mendapatkan gelar dokternya pada tahun 1930, Ph.D-nya pada tahun 1949 pada Vienna University. Frankl mengajar dan menjadi guru besar dalam bidang neurologi dan psikiatri di Fak, Kedokteran, dan juga sebagai guru besar pada bidang Logoterapi di US Internasional University. Karena kecerdasannya, Frankl mendapatkan Doktor Honoriskausa dari 120 universitas di dunia, dan menjadi dosen tamu pada universitas-universitas ternama seperti Harvard, Loyola University, dan beberapa universitas lainnya di dunia..
Penajaman spiritualnya terjadi ketika Frank dan keluarganya dijebloskan ke kamp konsentrasi (1942-1945) di Theresienstadt. Frankl mengalami sendiri penyiksaan-penyiksaan yang sangat kejam terhadap dirinya juga kamp-kamp konsentrasi lainnya seperti Auscwitch, Dachau, Treblinka dll. Orang-orang yang sangat dicintainyapun mati dibunuh di dalam Kamp. Frankl juga melihat dengan mata kepala sendiri para tahanan Yahudi disiksa, diteror secara bengis (dehumanisasi), dibunuh secara kejam karena ada program pemusnahan massal oleh Hitler. Â Banyak tahanan yang putus asa, apatis, tidak mempunyai semangat hidup lagi sehingga mereka bunuh diri untuk mengakhiri penderitaannya. Di sisi-lain, Frankl juga melihat ada beberapa tahanan, termasuk dirinya dalam keadaan yang sangat mencekam dan menyedihkan berusaha berbagi kepada tahanan lainnya untuk membangkitkan semangat hidup. Frankl dengan teman-teman yang lain yang masih mempunyai semangat hidup berusaha memberikan pengobatan dan dan support psikologis kepada tahanan lain. Membangkitkan harapan-harapan tentang kebebasan, kemerdekaan dan kebahagiaan.
Frankl melihat dari teman-temannya yang tabah itu karena berhasil mengembangkan dalam diri tentang harapan-harapan yang baik dan berharap adanya pertolongan Tuhan dengan berbuat kebajikan. Mereka berhasil menemukan dan mengembangkan makna dari pengalaman pahit mereka dalam kamp-kamp konsentrasi (Meaning in suffering). Â
Dari kamp konsentrasi tersebut Frankl banyak belajar tentang makna hidup dan makna penderitaan. Lalu iapun membuat kelompok-kelompok psikoterapi guna membantu tahanan yang lain agar bangkit semangat untuk hidup, mengatasi frustasi dan memberikan konseling agar tidak ada keinginan untuk bunuh diri. Pengalaman di dalam kamp konsentrasi ini memperkaya teoriti dan praktek psikiatrinya kemudian.