Mohon tunggu...
Nanang Sumanang
Nanang Sumanang Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina

Saya Lulusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Guru: Antara Al-Ghazali dan Semar

27 November 2022   13:11 Diperbarui: 27 November 2022   13:16 343
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Barang siapa yang ingin menjadi guru, biarlah dia mengajar dirinya sendiri sebelum mengajar orang lain. Dan biarkan ia mengajar dengan teladan sebelum mengajar dengan kata-kata...." (Khalil Gibran).

Setelah selesai upacara Hari Guru Nasional, 25 Nopember 2022 lalu, saya cepat masuk ke ruangan, untuk merenung sedikit, apakah saya sudah pantas untuk menyandang gelar guru sebagaimana yang dinyanyikan oleh tim paduan suara ketika menyanyikan hymne guru, "... Engkau sebagai pelita dalam kegelapan. Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan. Engkau patriot pahlawan bangsa. Pembangun insan cendekia..."

Pikiran ini kemudian melayang jauh ke belakang menapak-tilasi perjalanan hidup sejak awal  mengajar hingga kini menjadi guru di sebuah Sekolah Indonesia di Luar Negeri SILN). Pikiran itu terus membayangi dan bertanya hingga kini "Apakah saya sudah layak menjadi guru ideal atau bahkan hanya menjadi guru saja berdasarkan undang-undang, agama, atau budaya bangsa Indonesia".

Dalam Islam, kedudukan guru sangat mulia, bahkan Allah SWT Tuhan yang Maha Agung menjadikan Rasulullah SAW adalah seorang guru kemanusiaan yang tiada bandingnya, yang mengajar dengan keteladanan dan keagungan jiwanya. Karena pentingnya peran guru dalam kehidupan manusia, maka Islam mengenal beberapa term yang artinya merujuk kepada guru;

Ustadz, biasanya adalah orang yang mengajar di sekolah, madrasah atau pada lembaga pendidikan formal. Ada kurikulum dan mengikuti kurikulum, karena ini profesi resmi, maka dia terikat oleh kode etik profesinya.

Mualim berasal dari kata "ilm" yang berarti pengetahuan atau hakekat sesuatu. Seorang guru harus bisa menerangkan hakekat sesuatu kepada muridnya dengan gampang, jelas dan mudah dipahami. Seorang mualim tidak akan pernah menyalahkan muridnya apabila belum mengerti, karena memang tugasnyalah yang harus membuat muridnya mengerti dan memahami hakekat sesuatu.

Murabbi, berasal dari kata "Rab" yang berarti Tuhan yang Maha Mencipta, Maha Memelihara, Maha Mengatur dan Maha Mendidik alam raya ini. Kata ini mengandung Asmaul Husna yang Agung, maka guru dituntut agar bisa melahirkan muridnya menjadi kreatif, inovatif, dapat memelihara dan mengatur sesuatu. Agar dapat melahirkan murid yang diharapkan dari kata "Rab" tersebut, syarat utamanya adalah hendaklah seorang guru juga memiliki sifat-sifat Asmaul Husna seperti di atas dahulu, atau dalam bahasa lainnya seorang guru harus mengisi jiwanya dengan sifat-sifat ketuhanan "Uluhiyah".

Mursyid berasal dari kata "Rasyd" yang arti umumnya adalah transendan, uluhiyah, ketuhanan. Maka tugas guru di sini adalah bagaimana mendidik dirinya sendiri dan muridnya untuk selalu menghubungkan dirinya dengan Allah SWT, Tuhan sekalian alam. Karena dengan terus menghubungakan diri ini dengan Allah SWT, kebahagiaan di dunia dan akherat akan bisa diraih.

Mudarris berasal dari kata "Darasa"yang secara akar kata berarti "terhapus, hilang, berkarya, melatih, dan mempelajari". Dari pengertian ini, maka seorang guru harus bisa menghilangkan, menghapus ketidak-tahuan muridnya dengan cara mengajarkan dan melatih dengan penuh keikhlasan. Karena pada hakekatnya yang dapat membuka pikiran dan hati seseorang adalah Allah SWT.

Muaddib, berasal dari kata "Adab" peradaban. Maka sejarah terus mencatat  tiadalah peradaban muncul kecuali lewat tangan-tangan manusia yang terdidik baik formal, informal maupun non formal. Kesalahn guru ketika mendidik akan menghancurkan peradaban umat  manusia. "Amma khotho' al Mu'alim fayasiiru 'ala al ardli" Demikian kata pepatah Arab "Adapun kesalahan guru, maka kesalahan itu akan berjalan dimuka bumi, dibawa oleh para muridnya kemanapun jua.

Ima al-Ghazali yang bernama lengkap Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad at-Tusiyy al-Ghazali.  Sebagai seorang yang sangat jenius, Imam al-Ghazali mengalami beberapa fase pergulatan intelektual dan spiritrual, dari seorang fuqoha, Mutakalim (ahli ilmu kalam /Teologi), Filusuf hingga tasawuf. Kitab Ihya 'Ulumiddin merupakan kitab yang ditulisnya ketika beliau sudah menemukan dunia kedamaian batin (sufi). Karena keberanian dan kejeniusan beliau berargumentasi akhirnya beliau mendapatkan julukan hujjatul Islam.  Dalam bukunya Ihya 'Ulumiddin  beliau memberikan perhatian yang sangat serius tentang  karakter yang harus dimiliki oleh seorang guru, karena guru akan mengantarkan muridnya kepada kehidupan yang abadi (akherat kelak). Karekter-karekter tersebut antara lain:

Seorang guru harus menyayangi dan mencintai muridnya sebagaimana orang   tua  menyayangi dan mencintai anak kandung sendiri. Al-Ghazali mensyaratkan karakter  ini merupakan karakter yang pertama dan utama bagi seorang guru, karena baginda Rasulullah SAW sebagai contoh pribadi yang agung mencontohkannya demikian sebagaimana sabda beliau "Sesungguhnya aku bagi kalian laksana seorang bapak kepada anak-anaknya". Apabila karakter menyayangi dan mencintai muridnya tidak seperti kepada anak kandungnya  sendiri, maka gugurlah karakter mulia guru tersebut dan tidaklah layak untuk menjadi guru.

Karakter yang kedua adalah bahwa seorang guru harus mengikuti karakter  guru Agung baginda Rasulullah SAW. Selain sebagai orang tua bagi murid-muridnya, Rasulullah SAW mengajarkan dan memberikan contoh/ tauladan dengan keikhlasan dan keridloan dalam mendidik para sahabatnya. Jangan pernah beranggapan berjasa kepada para murid-muridnya, karena dengan mengamalkan ilmu yang diajarkan guru, maka guru akan mendapatkan pahala dan balasan kebaikan yang besar dari murid-muridnya.

Terus meneruslah memberikan nasehat kepada para murid-muridnya dan mengingatkan para muridnya agar selalu jelas tujuan untuk belajar adalah bukan untuk kebanggaan diri ataupun sekolah, tetapi bagaimana agar murid selalu mendekatkan diri kepada Allah SWT. Guru  juga tidak berhak untuk melarang murid-muridnya untuk belajar ilmu lainnya selain ilmu yang diberikannya. Selalu mendorong murid untuk terus bersemangat belajar untuk mendekatkan diri kepada Alah SWT.

Karakter ke-empat guru harus mempunyai rasa yang halus dalam mengajar. Guru harus mengerti karakter seorang anak, agar murid tidak dipermalukan pribadinya dan terluka perasaannya. Didiklah murid dengan kasih sayang bukan dengan celaan dan bentakan.

Sebagai manusia, tentunya guru juga mempunyai keterbatasan-keterbatasan secara ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, seorang guru tidak akan pernah mencela dan menyalahkan  ilmu pengetahuan lainnya yang tidak diketahuinya, apalagi apabila itu di depan murid-muridnya. Dalamilah cabang ilmu yang telah dipilih dan jangan pernah menyalahkan cabang  ilmu lainnya.

Karakter selanjutnya adalah bahwa guru harus mempunyai kemampuan membaca dan mengetahui kapasitas akademik dan non akademik para muridnya. Jangan menjejali  ilmu dan tugas yang akan memberatkan murid, sehingga ia enggan untuk belajar kembali. Hal tersebut berdasarkan hadits Nabi Muhammad SAW yang bersabda "Tidaklah seseorang berbicara kepada suatu kaum dengan suatu pembicaraan yang tidak bisa dijangkau oleh akalnya, melainkan akan menjadi fitnah bagi mereka".  

Bagi seorang murid yang terbatas pemahamannya, maka seorang guru harus memberikan pelajarannya dengan jelas dan mudah, yang sesuai dengannya, sehingga dirinya  menjadi yakin bahwa Allah sematalah yang menciptakan manusia dengan kesempurnaan akal. Sejahat-jahat manusia adalah yang mengakui bahwa akalnya adalah yang paling sempurna.

Seorang guru harus memiliki integritas, ilmu yang diketahui juga harus diamalkan, artinya bahwa apa yang diajarkan bahwa sesungguhnya bisa dibuktikan dan pembuktian yang  nyata haruslah dimulai dari gurunya terlebih dahulu.

Dalam pewayanganpun kita mempunyai panutan guru sejati yaitu Semar, tokoh yang   menjadi pengasuh dari keluarga Pandawa. Semar, adalah guru yang sangat berhasil menjadikan pandawa menjadi ksatria yang berakhlak mulia dan mempunyai ketrampilan dan pengetahuan yang mumpuni. Sifat-sifat Semar yang kemudian diambil oleh KH Dewantara menjadi pedoman dalam penjaran sistim pendidikan nasional Indonesia;

Karakter pertama Semar adalah bahwa ia bukanlah tokoh yang senang  dikenal. Dia bekerja dalam senyap dan menjauhi dari keramaian dunia. Hidupnya terus disambungkan kepada sang Khaliq melalui pengabdiannya mengasuh para Pandawa. Bagi Semar mengasuh Pandawa adalah taqdir yang Maha kuasa yang harus dijalankan dengan baik dan ikhlas.

Karakter selanjutnya adalah Semar selalu memberi contoh kepada anak-anaknya  dan Pandawa (Ing ngarso sung tuludho). Dalam kehidupan kesehariannya Semar sangat spiritual, percaya kepada kehendak Yang Maha Agung, tidak ambisius dan menjunjung moral yang tinggi  yang diterapkan dalam laku sehari-hari.

Kalau berada bersama keluarga dan para Pandawa, beliau selalu memberikan semangat, inspirasi, kekuatan moral, daya juang dan sebagainya (Ing madya mangun karso). Ini dicontohkan dalam cerita ketika Arjuna yang akan menerima wahyu Makutha Rama dari Begawan Kesawasidi yang merupakan penjelmaan Kresna yang merupakan titisan Batara Wisnu. Dalam cerita tersebut Arjuna mengalami kejenuhan/ kelelahan dalam tapa bratanya untuk mendapatkan wahyu Makutha Rama, maka Semar datang untuk memberikan semangat dan akhirnya Arjuna berhasil mendapatkan wahyu tersebut.

Di belakang panggung, Semarpun memberikan dorongan bagi Pandawa dan keluarganya untuk selalu mendekatkan dan menyerahkan diri kepada yang Maha Kuasa (Tut wuri handayani). Dalam cerita pewayangan bahwa pada suatu saat Pandawa kehilangan pusakannya  yaitu  layan jamus kalimasada, sebuah jimat Pandawa yang paling sakti. Keluarga Pandawa gempar, dan berusaha untuk menemukannya. Dalam keputus-asaannya mencari jamus kalimasada, lalu Semar tersu mendorong agar tidak usah putus asa, tetapi lebih baik utnuk mendekatkan diri lagi kepada yang Maha Kuasa dan meminta bantuannya agar jimat kalimasada bisa ditemukan kembali.

Melihat kriteria-kriteria di atas, maka sungguh untuk menjadi guru sesungguhnya adalah pengabdian total kita kepada Allah SWT melalui upaya mencerdaskan murid-murid kita sangat mulia. Di atas kemuliaan itu adalah pengorbanan dan keikhlasan kita dalam mendidik murid-murid kita seraya memohon kepada Yang Maha Kuasa agar diberikan kemudahan dan kelancaran dalam menjalankan tugas ini.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun