Mohon tunggu...
Nanang Sumanang
Nanang Sumanang Mohon Tunggu... Guru - Guru Sekolah Indonesia Davao-Filipina

Saya Lulusan Aqidah Filsafat Fakultas Ushuluddin IAIN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Mencari Tuhan, Antara Kebenaran dan Pembenaran

30 September 2022   13:37 Diperbarui: 30 September 2022   14:11 322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

...Mereka mencari Tuhan. Mereka mendekati alam. Mereka mendekati kehidupan. Mereka mulai meragukan nilai-nilai yang sudah mapan.. A a a a a  a a ...

                                                                                                                                                       Mencari Tuhan (1980), Bram Makahekum.

       Petikan syair di atas diambil dari lagu Mencari Tuhan, Kelompok Kampungan Yogja. Lagu yang ditulis oleh Abraham Takahengetang Makahekum, atau biasa dipanggail Bram Makahekum ini dilatar belakangi oleh kegelisahan Bram Makahekum pada saat itu melihat pembangunan yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru hanya berpusat pada pertumbuhan ekonomi semata, sehingga nilai-nilai kemanusiaan sering kali terabaikan, dan keseimbangan alampun terganggu. Penafsiran kebenaran hanya milik penguasa, kritik menjadi tabu, saran dan masukan mentok pada dinding-dinding gedung beton yang sunyi.

       Pembangunan yang sentralistik, semakin membuat kesenjangan antara pusat dan daerah semakin jauh dan menganga, dan pada akhirnya membuat manusia, terutama para kaum muda mulai gelisah. Kemerdekaan berpikir yang merupakan pemberian kodrati yang merupakan ciri manusia, terus diberangus oleh tangan-tangan besi alat-alat penguasa.

       Undang-undang Subversi berisi pasal-pasal karet, yang bisa ditafsirkan dengan seenaknya oleh pemerinta. Sementara itu, pemerintah melalui Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (KOPKAMTIB) dengan kekuasaan yang besar dan berlindung dibalik undang-undang terus mengintai orang-orang yang mengkritis pemerintah. Melalui kaki tangannya; Laksus, Laksusda, Kodam/ Polda, Kodim/ Polres/ Poltabes hingga Koramil/ Polsek.melabeli orang-orang yang mengkritisi pemerintah dengan label ektrim kiri dan ekstrim kanan untuk kemudian dijebloskan ke dalam penjara/ ditiadakan.

       Situasi sekarang yang tidak lebih baik dari Orde Baru, ditambah lagi dengan adanya pandemik Covid-19, semakin banyak melahirkan orang-orang seperti mas Bram dan teman-temannya. Mereka resah, gelisah, gerah, geram dan sebagainya  melihat situasi dan kondisi yang ada. Keresahan, kegelisahan, rasa marah akhirnya menuntun mereka berusaha mencari alternatif kebenaran dari kebenaran yang ditawarkan oleh negara, atau lembaga-lembaga lainnya yang sudah kurang sesuai dengan pola pikir dan jamannya. Sebagian lagi malah melahirkan sikap masa bodoh dan apatis, karena setiap pemikiran dipatahkan oleh kekuasaan dan kekerasan. yang berlindung dalam peraturan dan atas nama ketertiban umum.

       Seorang teman bercerita, bahwa anaknya yang sekolah kedokteran sekarang lebih mendalami dunia filsafat dan metafisik. Ada juga seorang teman berlatar belakang pendidikan elektro arus kuat yang akhirnya mendalami dunia klenik dan sekarang menjadi seorang "dukun". Atau seorang pemuda yang lebih memilih "pelariannya" dengan menjelajah alam, naik gunung dan keluar masuk hutan. Atau seperti diberitakan majalah Tempo (29 September 2022), ada beberapa anak muda yang berpuasa media sosial, ditengah penggunaan media sosial yang semakin banyak dan masif untuk mengejar popularitas maupun pendukung, dimana kebenaran bukanlah hal yang penting. 

       Beberapa tahun lalu, datang seorang pemuda Belgia menemui saya. Dia mengaku seorang atheis, bapak, ibu, kakek dan neneknyapun juga atheis. Dia yang gelisah, tiba-tiba mau belajar agama Islam.

       Dia hanya bertanya, apa pandangan Islam terhadap teori Big Bang; Evolusi Darwin, dan LGBT. Dengan pemahaman saya yang sangat minim tentang agama Islam, serta teori-teori yang ditanyakan, saya berusaha untuk menjawabnya. Diskukusi semakin berkembang, bahkan pemuda tersebut beberapa kali menginap di rumah saya bukan hanya untuk berdikusi tentang Islam, tetapi berkembang mendiskusikan tentang banyak hal; tentang hidup dan kehidupan, kematian dan kehidupan setelah kematian, diskusi yang sangat menarik perhatiannya. Alhamdulillaah, ketika empat bulan kemudian dia kembali ke Belgia, saya melihat dia kembali dengan keceriaan dan kebahagiaan, serta optimis dalam memandang masa depan, berbeda dengan ketika dia baru datang dan bertemu pertama kali.

       Sebagai makhluk yang diciptakan Allah Swt dengan kesempurnaan, karena diberikan akal pikiran, rasa, serta kehendak, maka adalah suatu hal yang sangat wajar apabila manusia mengalami kegelisahan, keresahan dan ketidak puasan terhadap suatu lingkungan atau peristiwa yang menimpa dirinya atau masyarakat dan lingkungannya. 

       Teringat ketika SMP dulu, saya sempat membaca sebuah buku Mencari Tuhan, yang ditulis oleh ibnu Thufail di perpustakaan Balai Pustaka, di belakang Gedung Kementerian Keuangan di Lapangan Banteng dulu. Buku ini berkisah tentang Hayy bin Yaqdzan yang mencari hakekat kebenaran, hakekat hidup dan juga kehidupan ini. 

       Terlepas dari polemik asal-usul Hayy bin Yaqdzan, apakah dia terlahir dari seorang rahim manusia, yang kemudian dilarung ke lautan dan akhirnya terdampar di sebuah pulau yang hanya diisi oleh hewan, dan kemudian diangkat anak oleh Yaqdzan (Rusa), atau,  dia ada karena terjadinya proses alam, yaitu lahir dari tanah al-waqwaq, tanah yang bergelembung udara, yang diisi oleh ruh dari Tuhan, kemudian jadilah Hayy bin Yaqdzan, seorang bayi manusia yang kemudian dipelihara oleh seekor rusa (Yaqdzan). 

       Kegelisahan Hayy bin Yaqzan, dari matinya rusa yang telah memeliharanya ketika ia berusia tujuh tahun. Kesedihannya akhirnya membawa Hayy bin Yaqdzan mengembarai dunia fisik hing ke metafisik. Dari mulai ketika dipelihara oleh Yaqdzan, Hayy mulai belajar menirukan bahasa binatang, belajar membela diri. Setalah pengasuhnya, Yaqdzan, mati, dia mulai mencari penyebab kematian dengan cara membelah ibunya, dan mempelajari anatomi tubuh Yaqdzan untuk mencari tahu penyebab kematiannya. Setelah dibedah, lalu Hayy berkesimpulan bahwa ada perbedaan yang jelas antara fisik dan nafsun (pemberi hidup). Pertanyaan-pertanyaannya terus berlanjut hingga kepada mencari al-Haq melalui benda-benda langit, dan akhirnya sampai kepada cinta kepada al-Khaliq.

       Pencarian kebenaran yang melahirkan kebahagiaan sejati sebenarnya adalah sebuah proses yang terus menerus. Sama dengan tawaf ketika kita berhaji. Kita hanya bisa berputar-putar untuk menuju kepada kebenaran, tapi tidak pernah sampai pada kebenaran yang hakiki, karena kebenaran yang hakiki adalah hanya milik Allah yang absolut, yang tidak dibatasi oleh ruang dan waktu, sementara itu, kebenaran tertinggi kita adalah hanya kumpulan kebenaran-kebenaran yang sangat relative, yang sangat dibatasi oleh ruang dan waktu.

       Tawaf mencari kebenaran pun pernah dilakukan oleh Imam al-Ghazali (nama lengkapnya Abu Hamid Muhammad bin Muhammad al Ghazali ath-Thusi asy-Syafi'i), seorang ulama besar yang disepakati oleh para ulama lainnya sebagai mujaddid (pembaharu) Islam. Beliau lahir yang di desa Thusi, belajar banyak dari mulai fiqh, teologi (ilmu kalam), filsafat, hingga menekuni sufi hingga akhir hayatnya. Kegelisahan dalam menemukan jalan kebenaran, harus diraihnya dengan tebusan yang cukup hebat yaitu meninggalkan posisi tinggi, hingga sakit yang cukup parah. Karena karya-karya beliau, para ulama kemudian memberikan gelar sebagai Hujjatul Islam (bukti kebenaran Islam).

       Ibrahim, sang kekasih Allah pun menjalani laku mencari kebenaran sejati, dari mulai fisik, perjalanan mempercayai tujuh dewa planet (karena Babylonia adalah tanah pertanian yang subur, dimana bercocok tanam dipengaruhi oleh planet) hingga ke metafisika,  dan akhirnya mendapatkan kebenaran dengan cara menyerahkan diri secara total dan pengakuan yang ikhlash terhadap kebesaran Allah Swt. Penyerahan diri hingga pengakuan kebesaran Allah Swt adalah jalan yang paling sesuai untuk mendapatkan kebenaran sejati (hanif), bukan kebenaran tuhan-tuhan benda yang dibuat manusia yang kemudian dituhankan manusia.

       Semua manusia mengalami proses mencari kebenrannya sendiri-sendiri, tapi seperti yang dikisahkan dalam Hayy bin Yaqdzan, ketika Hayy bin Yaqdzan bertemu dengan Salman, sahabatnya Asal, dimana Salaman bisa menemukan kebenaran walaupun melalui jalan yang berbeda (Syariat), ini berarti bahwa untuk mencari kebenaran manusia mempunyai kemampuan yang berbeda-beda dalam menangkap dan memahami kebenaran.

       Selamat mencari kebenaran, dengan menempuh jalan yang sesuai dengan kemampuan masing-masing. Jadilah diri sendiri, dan jujur pada diri sendiri, karena kebenaran akan datang pada orang-orang yang jujur dan berani menolak tuhan-tuhan nafsu manusia, dan terus tawaf mencari kebenaran sejati.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun