BRAM (KELOMPOK KAMPUNGAN) MAKAHEKUM
Oleh: Nanang Sumanang, Guru Sekolah Indonesia Davao
"Hidup ini tidak bisa untuk tawar dan menawar. Hidup itu kenyataan sekarang, kerja kita hari ini untuk kenyataan mendatang"
                                                  (Ratna, Bram Makahekum)
Bagi sebagian remaja tahun 80-an yang datang dari keluarga pra sejahtera, syair di atas yang merupakan bagian dari lagu Ratna-nya Kelompok Kampungan Jogja bagaikan jimat. Bagaimana tidak, selain syairnya gagah, syair tersebut memberikan kekuatan besar untuk berani menatap hidup dan melawan keputus-asaan dalam menghadapi masa depan.
Awal mengenal Kelompok Kampungan Jogja dari stasiun radio ARH yang berlokasi di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Di radio yang diasuh oleh Zainal Abidin Suryokusumo dan Atty Nurly sering sekali memutar lagu-lagu "Aneh". Selain lagu dari Kelompok Kampungan, ada Gombloh dengan Lemon Trees anno 68, Franky and Jane, Johny Sahilatua denga Sengketa Keraton Demaknya, Â juga lagu-lagu lainnya.
Melalui Amir Daulay, saya mendapatkan no hp Bram Makahekum. Pada saat itu saya cuma sms-an atau bertelpon saja, karena belum ada whatsapp. Dalam beberapa kali pertemuan dengan mas Bram, juga dialog lewat telepon, saya banyak mendapatkan pelajaran hidup, sehingga kekaguman dan penghormatan saya terhadap mas Bram semakin tinggi
Di tengah semaraknya lagu-lagu pop melankolis, serta lagu-lagu rock, Kelompok Kampungan Jogja lahir dengan aliran tersendiri. Agak sulit untuk mendefinisikan musiknya, dan memang mas Bram sebagai pimpinan Kelompok Kampungan tidak ingin mengotak-ngotakan musik yang membelenggu kreatifitas manusia. "Alam... lepaskan aku dari kotak-kotak kebudayaan yang menjadi beban kehidupan ini...." Jeritnya dalam lagu Mencari Tuhan.
Kelompok Kampungan Jogja tidak bisa dilepaskan dari sosok Bram Makahekum, seorang seniman dari Nusa Utara (Sangir). Datang dari keluarga yang terhormat, karena alm bapaknya adalah seorang hakim pertama di Sulawesi Utara. Remajanya dihabiskan di Manado, kemudian pindah ke Surabaya mengikuti perpindahan tugas ayahandanya yang ditugaskan sebagai hakim di Surabaya. Ketika kuliah di Jogja, lalu mas Bram masuk Bengkel Teater Rendra.
"Gila...saya ini orang kaya, tapi waktu saya masuk Bengkel Teater, kerja saya setiap hari dari  bangun tidur hanya menyapu, dari mulai kamar, sekeliling kamar, rumah dan seterusnya, dan itu berlangsung selama dua tahun..." Ujarnya ketika menceritakan awal mas Bram masuk menjadi anggota Bengkel Teater. Ternyata ajaran/ laku dalam Bengkel Teater ini membentuk pribadi mas Bram yang tangguh, sadar akan dirinya, akan ruang, dan akan waktu. Laku tersebut juga membentuk untuk cepat merespon, dan membunuh kemalasan dengan daya juang. Selain berteater, mas Bram juga menjadi anggota PGB Bangau Putih, sebuah perguruan silat yang banyak mengajarkan gerakan lentur dengan pernapasan yang bagus.
Kesenangannya berteater mengakibatkan kuliahnya menjadi berantakan. Mas Bram lebih senang berlatih teater di Bengkel Teater Rendra, karena disana ditumbuhkan jiwa berkompetisi sesama anggota, berkreatifitas, berpikir kritis, belajar dengan penuh kemerdekaan, daya juang, dan demokratis. Di Bengkel Teaterlah mas Bram bisa menulis puisi, lirik lagu dan bermusik, sehingga dipercaya oleh WS Rendra menjadi "perawat" Nyai Pilis, seperangkat alat musik gamelan dan sebagainya yang biasa dipakai untuk pementasan Teater.
Selain tempat berlatih teater, Bengkel Teater juga sering mengundang dan dikunjungi oleh tokoh-tokoh yang kritis terhadap pemerintahan Orde Baru untuk berdiskusi bersama-sama.