Tiga hari lalu seharusnya menjadi pesta demokrasi bagi rakyat Indonesia dalam memilih pemimpin daerahnya.Â
Kata seharusnya ini perlu digaris-bawahi, karena dalam proses real-nya, sebagian besar rakyat tidak lagi bebas dalam memilih calonnya.Â
Ada yang hanya memiliki calon tunggal, yang berujung pada melawan kotak kosong saja, ada juga yang melakukan "serangan fajar" demi mendapatkan suara rakyat, dan sebagainya.
Pesta demokrasi sepertinya sudah sangat ternodai pada masa Pemilu 2024 kemarin.
Suara rakyat dan demokrasi sebuah negara berdaulat tidak lagi dihargai, karena semua aturan ditabrak demi kepentingan yang sangat tidak jelas apa manfaatnya bagi negara, kecuali untuk kesejahteraan segelintir kelompok tertentu saja.
Bisa dibilang kemenangan dikarenakan ada faktor X yang benar-benar terlihat dengan jelas pengaturannya, bukan lagi murni dari hati nurani rakyat.Â
Melihat hal tersebut, tentu banyak pihak yang merasa kecewa, maka tidak heran banyak orang yang memilih untuk "berontak".Â
Di daerah Bangka dan Pangkal Pinang, kotak kosong menjadi pemenang.
Di Jakarta, angka golput tertinggi dalam Pilkada 2024 pun terjadi, dikarenakan banyak orang yang menjadi apatis terhadap politik.Â
Merasa percuma saja memilih, karena toh pihak yang mendukung salah satu calon Gubernur dan Wakil Gubernur sudah memiliki rekam jejak untuk memenangkan kompetisi dengan berbagai cara.Â