Corona, nama yang cantik, namun membawa petaka. Kehadirannya bagai lirik lagu "Oh, Carol" yang membuat seorang pria patah hati berkeping-keping. Corona, si virus cantik, membuat perekonomian negara mulai carut marut, dan merendahkan nilai uang, uang seberapa banyak pun yang kita punya tidak akan mampu membuat virus cantik ini terhempas keluar begitu saja dari dunia ini.Â
Sayur mayur dan beras sempat kosong, karena kepanikan beberapa orang dalam memborong makanan. Bagi orang yang tidak panik, namun ada uang, terpaksa harus makan seadanya.Â
Nasi dikasih kecap dan bawang goreng saja sudah terasa nikmat. Nasi dikasih sambal dan kerupuk saja, rasanya sudah surga duniawi. Mau bagaimana lagi, barangnya tidak ada (saat itu). Memiliki uang berlebih pun tiada guna, wong barangnya tidak ada, apanya yang dibeli? Disinilah virus corona mulai merendahkan nilai uang.Â
Uang seberapa banyak pun tidak akan mampu membuat manusia ingin membagikan bahan pangannya yang berlebih, karena mungkin tetangga, misalnya, takut apabila ia keluar membeli bahan pangan, ia akan terkena garangnya si virus corona. Lebih baik sang tetangga, menyimpannya dengan aman di rumah, demi kesehatan dirinya dan keluarga.
Tidak itu saja, virus corona pun kembali merendahkan nilai uang, dan memaksa kita untuk menyadari betapa pentingnya gaya hidup sehat.
Hampir rata sekarang masyarakat menikmati sinar matahari pagi untuk berjemur, berolahraga sehari sekali, minum vitamin dan air putih yang sesuai dengan saran dokter, demi menjaga imunitas tubuh. Hal ini terpaksa dilakukan supaya kita tidak teraba oleh virus corona yang mampu membuat tubuh kita dan keluarga tergelepak tiada berdaya.
Kekayaan alam yang kita miliki juga akhirnya diakui khasiatnya. Keberadaan vitamin yang langka, membuat kita melirik rempah-rempah Indonesia yang ternyata khasiatnya tidak hanya sebagai bumbu dapur. Temulawak, kunyit putih, kunyit kuning, jahe merah, daun kelor, asam jawa, sereh dan gula aren, dijadikan sebagai komposisi Empon-empon.Â
Uang yang kita miliki untuk membeli vitamin, ternyata tidak ada nilainya, karena kelangkaan barang. Kita dipaksa untuk menghargai kekayaan alam yang kita miliki demi menjaga imunitas tubuh.Â
Etika dalam menjaga kesehatan diri sendiri dan orang sekitar juga baru benar-benar kita pelajari. Kita, di Indonesia, terbiasa dengan batuk tanpa menutup mulut, kita terbiasa bersin tanpa menutup hidung. Bebass! Bahkan air liur karena batuk, ataupun ingus yang sempat meler, hanya kita sapu dengan tangan, kemudian mengelapkan tangan kita cukup dibaju saja.Â
Dengan kehadiran sang corona, etika batuk dan bersin pun lebih diperhatikan dan publik seakan diedukasi kembali, kita membutuhkan masker untuk menghindarkan diri agar tidak menyebarkan penyakit pada orang lain.