Mengarang adalah mata pelajaran yang biasanya paling menyebalkan bagi anak-anak, saya pun juga begitu waktu semasa sekolah. Mungkin kalau guru Bahasa Indonesia melihat saya sekarang menulis di Kompasiana, bisa-bisa saya dibilang ada orang lain yang membantu mengerjakannya. Haha. Saking dulunya sama sekali tidak bisa mengarang.
Jangankan guru, mantan murid les saya saja juga mengatakan hal yang sama ketika membaca tulisan saya ketika skripsi, "Serius ini cici yang buat?".
Saya mulai terinspirasi menulis sejak saya skripsi, akan tetapi hal yang menjadi cikal bakal membuat saya berpikir kalau menulis itu tidak sesulit yang saya bayangkan adalah ketika saya menyemangati salah satu anak les yang sudah saya anggap sebagai adik sendiri. Sebut saja namanya Nelson.
Kalau bercerita, Nelson lucunya bukan main. Dulu saya buru-buru pulang kerja, hanya ingin bertemu dengannya, dan meminta izin pada ibu supaya bisa khusus memegang pelajaran Nelson, karena kalau sudah mendengar Nelson bercerita tentang sekolahnya atau kesehariannya, anak ini benar-benar menghibur sekali.Â
Akan tetapi wajahnya akan langsung seperti menderita kalau sudah diminta mengarang. Duh, beban dunia rasanya bertumpuk pada dirinya. Nilai mengarangnya selalu buruk, dan pernah satu kali, saya melihatnya menitikkan air mata diam-diam karena mengerjakan PR mengarang. Padahal Nelson ini termasuk anak yang tidak cengeng, bahkan sakit demam tinggi pun ia sama sekali tidak merengek atau mengeluh sakit.Â
Kasihan melihatnya, akhirnya saya mendapatkan akal untuk memintanya mengarang layaknya ia bercerita pada saya dan teman-temannya. Saya memintanya untuk tidak perlu menuruti kaidah-kaidah mengarang. Asalkan sesuai judul, tulis saja apapun yang ia pikirkan. Awalnya ia ragu karena tidak mau mendapatkan nilai yang buruk, ataupun dicap bodoh. Begitulah kesan yang selalu didapatkan oleh anak-anak, termasuk saya, ketika nilai buruk berarti kita bodoh, padahal kan belum tentu.
Saya mengatakan padanya, "Kalau sudah pintar, tidak perlu sekolah dan les lagi dong? Sekolah dan les kan tempatnya belajar. Namanya belajar, masa ga boleh salah? Tapi dari kesalahan, kamu belajar jadi benar toh, kecuali sudah tahu salah diulang terus, nah itu ndablek."
Awal Nelson bingung harus menulis apa, saya akhirnya membimbingnya dengan membuat pertanyaan dan dia menyusunnya sebagai cerita, layaknya ia menulis buku harian. Hasilnya, benar-benar membuat saya begitu tertawa lepas, karena benar-benar sesuai dengan gayanya bercerita. Walaupun belum baku, tapi setidaknya ia bisa menulis satu halaman penuh. Karena ia mencurahkan segala adegan yang mau ia ceritakan ke dalam tulisan.Â
Kemudian mengarang menjadi rutinitas pelajarannya. Saya akan memintanya untuk membuat satu karangan setiap harinya. Bebas bercerita, nanti saya akan memberitahu apa saja yang perlu diperbaiki.Â
Karena saya sudah terbiasa dengan didikan ala Montessori yang tidak pernah menyalahkan suatu hasil karya anak. Jadi karangan Nelson tidak pernah saya katakan buruk, tapi yang saya katakan adalah perlu diperbaiki dibagian "sini, sini, dan sini.". Supaya ia bisa bersemangat dan memahami, tidak ada orang yang pintar secara instan, semuanya belajar dari proses yang tentu ada banyak kesalahan dan kegagalan dalam setiap prosesnya. Yang terpenting anak itu mau berusaha dan terus belajar.