Menurut saya, larangan seperti itu bukanlah solusi. Karena adanya LGBT itu ada dalam faktor psikologi lingkungan sekitar. Tontonan terhadap pria kemayu tersebut tentu tidak terlalu berpengaruh banyak, karena biasanya peran tersebut hanya untuk lucu-lucuan, dan tidak ada unsur "mengajak" menjadi homoseksual.
Dua kebijakan yang ditetapkan oleh pihak KPI seperti tidak memberikan solusi apapun pada tayangan pertelevisian Indonesia. Kalau masalah keberpihakan media dalam politik, tentu KPI bisa jadi tidak bisa mengutak-ngatik. Karena terlalu banyak orang "kuat" dibelakangnya. Salah-salah MUNGKIN malah nyawa yang terancam, seperti Novel Basdewan.
Dari semua itu, saya rasa KPI belum siap untuk terjun mengawasi Facebook, YouTube dan Netflix, karena kualitas pendidikan dan cara pandang warganet itu jauh lebih beragam. Takutnya, malah kebijakan KPI salah sasaran, seperti yang dilakukan KPI terhadap tayangan televisi. Akhirnya, kami tidak mendapatkan informasi dan tontonan yang layak kami dapatkan.Â
Akan tetapi, saya tetap mengapresiasi kinerja KPI yang rajin memberikan peringatan pada sejumlah program yang kontennya kurang bermutu, himbauan melalui pers juga cukup sering, walau belum ada hasil yang benar-benar kelihatan untuk meningkatkan mutu tayangan dalam negeri.
Apabila KPI memang sudah benar independen dan memiliki kebijakan yang tepat untuk tontonan masyarakat dalam skala nasional, barulah bisa merambah ke media sosial. Dengan begitu kebijakan yang dikeluarkan pun nantinya menjadi solusi yang baik untuk berbagai pihak.
Salam :)
Referensi
Change.org
Agung Sandy Lesmana, M. Yasir (14 Agustus 2019). 75 Ribu lebih Warganet Teken Petisi Tolak KPI Awasi YouTube hingga Netflix. Diakses tanggal 14 Agustus 2019 dari Suara.com
Adriana Megawati (15 Mei 2016). Sinetron tak berkualitas marak karena masyarakat suka. Diakses tanggal 14 Agustus 2019 dari Merdeka.com
Yazir Farouk, Yuliani (30 Mei 2019). Pesbukers Akan Tetap Tayang Meski MUI Minta Dihentikan. Diakses tanggal 14 Agustus 2019 dari Suara.com