Mohon tunggu...
Nana Marcecilia
Nana Marcecilia Mohon Tunggu... Asisten Pribadi - Menikmati berjalannya waktu

Mengekspresikan hati dan pikiran melalui tulisan

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

[Event Cerita Mini] Duniaku Kembali Terang

8 Juli 2019   02:22 Diperbarui: 8 Juli 2019   02:41 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika aku masih kecil, aku senang sekali berkhayal. Ketika ada waktu luang, aku akan segera memejamkan mata dan mulai mengkhayal, memiliki ibu yang pengertian, memiliki sahabat yang sangat baik, dan memiliki banyak teman.

Tidak ada sama sekali pikiran untuk memiliki seorang ayah, karena untukku, sosok ayah hanya bisa merusak hidup anak, itu pikiran yang salah. Tapi itulah gambaran ayahku ketika aku masih kecil.

Khayalanku muncul dimulai dari aku pindah sekolah. Sekolahku tadinya bisa dibilang sekolah biasa saja, kemudian harus pindah ke sekolah unggulan yang berada di Jakarta. Hehe. Ternyata bobot pelajarannya sangat jauh berbeda, aku hampir tidak diterima, karena tidak bisa mengerjakan ujian masuk sekolah dasar dengan baik

Karena bantuan ibuku, aku diterima sekolah dasar itu, dengan syarat harus mengikuti bimbingan belajar.

Sekolahku disana bukanlah awal yang baik. Aku menjadi murid paling bodoh di kelas, apalagi saat itu kulitku sangat kusam dan hitam akibat sering bermain diluar. Berbeda dengan siswa yang berada di sekolah sana, putih bersih dan sangat terawat. Terlihat sekali mereka tidak pernah bermain diluar. Ketika waktu istirahat, mereka akan menertawakanku, sambil mengejek "Anak kampung".

Setiap pelajaran, aku tidak pernah bisa menjawab pertanyaan dengan benar, karena aku tidak paham apa yang wali kelasku tanyakan.

Sampai suatu hari, mungkin wali kelasku sangat kesal karena nilaiku selalu jelek. Didepan kelas ia berkata, "Dasar anak kampungan, sudah jelek, bodoh, hitam, memaksa sekolah disini lagi". Rasanya aku ingin menangis kala itu, tapi aku tahan.

Mulai dari sana, teman-teman yang lain mengejekku semakin parah, bahkan mulai memukulku. Di kelasku ada 19 orang siswa laki-laki, dan 8 orang perempuan, termasuk aku. 15 orang siswa akan segera menonjok aku kalau sudah waktunya istirahat. Teman-teman perempuan, tidak ada yang berani membela, 4 orang siswa laki-laki lainnya, hanya bisa diam-diam memberi semangat, agar tidak ikut dipukul.

Tidak ada guru yang membela, karena ibuku tidak pernah memberikan mereka hadiah. Ternyata sudah menjadi tradisinya, orang tua murid harus memberikan hadiah agar nilai anaknya bagus. Semakin mahal hadiahnya, maka nilainya akan semakin bagus. Karena guru akan memberikan bocoran jawaban untuk nilai tugas dan ujian sebagai balasannya.

Yang membelaku hanyalah penjaga sekolah, dan pemilik warung, itupun bila mereka berkesempatan melihat. Kalau tidak, aku pasti habis dipukuli dan diinjak.

Itu berlangsung sampai kelas 5 SD. Ketika aku pulang ke rumah dalam keadaan lebam, ibuku akan bertanya mengapa lebam, aku bingung bagaimana harus menjawab. Ketika aku diam, ibuku akan langsung memukulku supaya aku berbicara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun