Mohon tunggu...
Nana Arlina
Nana Arlina Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Punya nama pena Nana Arlina.\r\nSuka jalan-jalan, mengamati dan menulis di nana-arlina.blogspot.com dan www.ilmuterbang.com\r\n\r\n\r\n

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Menjelajahi Dunia dengan Beasiswa

13 September 2012   07:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:32 1141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13475226971725508628

[caption id="attachment_212177" align="aligncenter" width="384" caption="Berburu Beasiswa (dok: pribadi)"][/caption]

Hidup sebagai anak pegawai negeri sipil dijaman orde baru mungkin berbeda dengan dijaman reformasi. Tidak ada tunjangan daerah atau kenaikan gaji tahunan seperti jaman reformasi, kalaupun ada tambahan itupun karena ada usaha sampingan beternak ayam pedaging. Namun cukup banyak fasilitas beasiswa yang diberikan untuk anak-anak pegawai negeri pada masa itu dan juga apresiasi atas prestasi cukup saya rasakan.

Hidup sederhana itu menjadikan kedua orangtua selalu mengingatkan kami, kedua anaknya, bahwa orang tua kami tidak akan sanggup meninggalkan harta warisan kecuali ilmu. Maka ibu dan bapak selalu menekankan agar kami bisa menuntut ilmu setinggi mungkin selagi kedua orangtua mampu. Hal ini yang menjadikan saya dan abang diberikan fasilitas berupa bacaan yang menunjang. Apa saja yang kami minta selama berhubungan dengan pendidikan, maka tidak ada kata tunggu, ibu dan bapak akan berusaha memenuhi kebutuhan kami. Berbeda jika yang diminta adalah kebutuhan lainnya, seperti sepatu maka akan ada kalimat, “Sabar ya, nak. Tunggu bulan baru”.

Tahun 1990, ibu memperoleh beasiswa training ke Australia disaat saya masih duduk di bangku SD. Sebagai anak yang lahir dikota kecil, tentu saja negara itu terasa begitu jauh dan hanya saya kenal melalui atlas dunia. Ibu memang tidak membawa keluarga kesana karena program beliau hanya selama 6 bulan, namun prestasi ibu menjadi titik balik bagi saya untuk bermimpi agar suatu saat bisa bersekolah keluar negeri mengikuti jejak ibu dan juga menjejakkan kaki diujung-ujung dunia. Keinginan ini semakin kuat ketika tahun 1996, ibu kembali memperoleh beasiswa ke Kanada dan sebagai seorang pendidik, hal ini dijadikan ibu untuk melecut semangat anak-anaknya. Ayahpun begitu, beliau berusaha memenuhi kebutuhan anak-anaknya akan ilmu pengetahuan.

Sayangnya saya tidak berhasil masuk ke perguruan tinggi negeri pilihan seperti yang diimpikan, disinilah peran ayah dan ibu menjadikan saya tidak berkecil hati. Mereka berdua mengatakan kalau memang punya mimpi maka kejarlah mimpi itu dengan berusaha dan berdoa, selanjutnya biarkanlah Allah yang mengatur ending-nya. Dengan semangat dan dukungan dari orangtua, menginjak tahun 3 di universitas saya sudah mulai mencari-cari informasi tentang universitas di luar negeri. Pada akhir 90-an internet tidaklah semudah dan semurah saat ini, akibatnya harus efisien dalam menggunakan uang jajan. Syukurlah pada saat itu saya juga menerima beasiswa dari kampus yang sedikit banyak membantu menutupi pengeluaran disamping ada beberapa kerja sambilan sebagai mahasiswi fakultas teknik, seperti membantu membuat gambar dan sebagainya.

Jangan ditanya banyaknya cemooh dan ejekan yang saya terima dari kiri kanan karena keinginan bersekolah keluar negeri ini melalui beasiswa. Lagi-lagi ibu dan bapak membangun kepercayaan ditambah dengan semangat tidak mau kalah karena pada saat itu ibu kembali mengambil kuliah disebuah universitas negeri di kota saya. Hal ini memperkuat keyakinan bahwa jika mimpi itu diperjuangkan, InsyaAllah suatu saat akan terwujud.

Dan pada akhir tahun perkuliahan, saya sudah mulai berkoresponden dengan berbagai universitas di belahan dunia. Dimulai dari mempelajari berbagai informasi bagaimana cara untuk menjadi mahasiswa S2 diluar negeri, dari syarat umum aplikasi universitas hingga syarat khusus untuk beasiswa. Kemudian menyimpulkan bahwa saya tidak akan berjuang di jalur beasiswa umum karena beberapa hal yang mengecilkan peluang memperoleh beasiswa. Salah satunya adalah saya bukanlah lulusan universitas terkenal, baik negeri ataupun swasta. Hal ini bukan karena minder, tapi saya membaca hal ini (bisa jadi) menjadi salah satu indikator seleksi walaupun tidak tertulis dalam persyaratan.

Maka mencari beasiswa internal atau eksternal kampus adalah alternatif yang dituju. Maka disetiap aplikasi, selalu saya sebutkan minat untuk me-apply beasiswa dan minta informasi tentang beasiswa yang ada di universitas bersangkutan.

Jangan ditanya berapa banyak sudah aplikasi yang saya kirim yang berbanding sama dengan penolakan yang diterima. Tapi dari penolakan yang ada, saya belajar menyempurnakan aplikasi berikutnya. Akhirnya setelah hampir 2 tahun, pada akhir tahun 2002 saya diterima di 3 universitas: Wageningen University – Netherlands, Curtin University of Technology – Australia, dan Chalmers University of Technlogy – Swedia. Dan setelah melalui berbagai macam pertimbangan akhirnya saya memutuskan melanjutkan kuliah ke Swedia di program Management of Logistics and Transportation.

Selepas dari Swedia tahun 2005 dan pulang ketanah air untuk beberapa waktu, hasrat untuk melanjutkan pendidikan kembali muncul, apalagi sebuah proposal penelitian sudah dipersiapkan untuk diusung. Tahun 2006 itu, rasanya waktu seperti kembali kemasa saat mencari beasiswa untuk S2.

Karena saya bukan pegawai pemerintah dan juga bukan swasta, maka saya berburu beasiswa di jalur yang sama seperti dulu, internal dan eksternal kampus. Yang pertama dilakukan adalah mencari professor yang mau menjadi pembimbing dan kemudian mengirim aplikasi formal ke universitas. Mencari professor ini cukup alot, apalagi saya ngotot dengan penelitian saya. Setelah 1 tahun, penelitian saya diterima oleh professor dari Asian Institute of Technology – Thailand, University of Woolongong – Australia, dan Lincoln University – Selandia Baru. Sayangnya, saya hanya memperoleh partial scholarship yang artinya dibutuhkan beasiswa tambahan jika ingin melanjutkan kuliah.

Kembalilah saya mengajukan aplikasi ke berbagai institusi dan organisasi. Mulai dari Asean Development Bank (ADB) hingga Soros Foundation pernah saya kirimi email untuk melihat kemungkinan adanya dana untuk penelitian. Dan, lagi-lagi penolakan dikarenakan ketiadaan skema bantuan hingga tidak matching-nya penelitian saya dengan visi misi organisasi/institusi.

Menyerah? Tidak. Karena saya yakin ini adalah masalah waktu dan Miracles happen when you least expect them. Penghujung 2007, saya menerima bulletin dari kampus di Swedia yang menyatakan bahwa dibuka beasiswa untuk para alumni yang ingin melanjutkan pendidikan dibidang Management dan Law. Riset saya mengenai kecelakaan penerbangan di Indonesia adalah interdisciplinary studies, yaitu lintas disipilin – socio-engineering studies dan kedua bidang syarat beasiswa tersebut merupakan bagian dari penelitian yang akan saya lakukan. Langsung saja saya putuskan bahwa aplikasi akan dikirim bersama dengan bukti bahwa saya sudah diterima di Business Management and Law Group, Faculty of Commerce, Lincoln University.

Alhamdulillah, Maret 2008 sebuah email selepas maghrib menyatakan bahwa aplikasi saya sukses memperoleh beasiswa Rune Andersson dari Friends of Chalmers, Swedia dan untuk itu saya diundang kembali ke Gothenburg untuk menerima beasiswa tersebut. Sepulang dari Swedia, saya langsung melanjutkan pendidikan saya di Lincoln University untuk program S3 di aviation safety. Penelitian ini sukses membawa saya memperoleh beasiswa dari Women in Aviation International dan International Civil Aviation Organization untuk melakukan traineeship di Markas ICAO, Montreal, Kanada pada tahun 2011.

Segala keterbatasan yang ada jangan menjadikan kita tidak berani bermimpi besar. Tapi, impian besar tanpa adanya tindakan yang besar pula hanyalah merupakan angan-angan. Alhamdulillah, saya berani bermimpi dan saya berusaha mewujudkannya. Dengan restu dan doa orangtua, saya berhasil menggapai satu-persatu impian saya melalui beasiswa. Beberapa ujung dunia sudah saya kunjungi dan saya yakin siapapun bisa. So, who’s going to follow my journey?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun