Beberapa waktu lalu saya menulis di salah satu media elektronik berbahasa Inggris sebagai tanggapan atas kebohongan publik yang dilontarkan oleh mantan Gubernur New York, Elliot Spitzer tentang skandal seksnya dengan seorang pramuwisma Ashley Alexandra Dupre yang berakhir dengan habisnya karir politiknya.Sehubungan dengan kebohongan pemeritah yang sedang hangat-hangatnya di Indonesia, saya ingin mengulas dari sisi yang berbeda karena saya bukan ahli ilmu pemerintahan, komunikasi atau politik yang sampai pagi ini saya lihat saling serang dan kritik, diberbagai media tanah air.
Mari kita coba lihat, kenapa dibutuhkan sebuah kebohongan? Tad Williams menyatakan bahwa kebohongan itu muncul karena ketakutan, takut akan apa yang tidak diketahui, takut akan apa yang orang lain pikirkan, dan takut akan apa yang akan ditemukan tentang diri kita. Namun dia juga menyatakan bahwa ketika kebohongan dimunculkan untuk menjawab ketakutan yang ada, justru ketakutan itu akan semakin menguat.
Keinginan untuk terlihat sebagai yang terbaik diantara orang lain adalah salah satu human nature dan tidak bisa dipungkiri, agar terlihat baik dimata orang lain tak jarang hidup kita berjalan sesuai dengan opini orang lain, hidup berdasarkan apa yang diharapkan orang atas kita walaupun tak jarang bertentangan dengan apa yang kita inginkan. Akibatnya, hidup kita merupakan hasil ekspektasi orang lain dan bukan merupakan refleksi diri kita sendiri. Mempertimbangkan opini dan ekspektasi orang terhadap kita adalah suatu hal yang semestinya, namun yang perlu digarisbawahi adalah untuk mencapai itu, tidak diperlukan sebuah kebohongan alias tidak perlu berbohong untuk terlihat hebat, tidak perlu berbohong agar telihat sebagai yang terbaik. Walaupun Nietzsche menyatakan bahwa “Lies are necessary to life”, tidak ada yang namanya white lies karena kebohongan adalah ketidakbenaran walau apapun alasan dibelakangnya.
Kembali kepada situasi negara saat ini, Kebohongan ada dimana-mana. Kebohongan sudah bukan lagi merupakan kebohongan individu, tapi sudah menjadi kebohongan sistem. Mulai dari korporat, media, organisasi, pemerintah dan sebagainya. Kenapa? Karena kebohongan terdengar lebih indah daripada kebenaran, bisa jadi lebih mudah untuk menerima kebohongan daripada kebenaran, atau juga karena kebohongan lebih indah dan membuai.
Telinga lebih senang mendengar bahwa perekonomian negara membaik dengan turunnya angka kemiskinan daripada mendengarkan kritik para ekonom yang menyatakan bagaimana rapuhnya sistem perekonomian Indonesia, tingginya angka pengangguran dan semakin banyaknya orang miskin. Mendengar kebohongan seperti air yang melepaskan dahaga, dan yang lebih parah adalah ketika kita menikmati kebohongan itu. Kita senang dibohongi dan terkadang memilih untuk dibohongi. Sedihnya lagi, kita hidup ditengah-tengah kepungan dimana orang-orang dan institusi melegalkan yang mereka sebut sebagai ‘white lies’.
Kita dilenakan oleh kebohongan yang ada disekeliling kita dan tidak dapat dipungkiri, kita menikmatinya karena tidak sedikit dari kita yang takut mendengar kenyataan yang sebenarnya. Ketika 9 kebohongan pemerintah dikemukakan ke publik oleh tokoh lintas agama, pihak yang dituding melakukan kebohongan (pemerintah) bereaksi keras dan mencoba menutupi apa yang bisa ditutupi dengan (kembali) melontarkan (mungkin saja) kebohongan-kebohongan lainnya. Akibatnya yang tampak adalah permainan lontar kata di media daripada mengklarifikasi apa yang dikritisi, toh yang dibutuhkan adalah transparansi. Jika pernyataan pemerintah selama ini memang berdasarkan data, tidak ada salahnya data itu dikeluarkan untuk menjawab kritik yang ada.
Kritik atas kebohongan adalah merupakan sarana perbaikan dan intropeksi. Jangan seperti yang dinyatakan oleh Churchill bahwa banyak sekali orang yang tersandung dengan kebohongannya sendiri namun kemudian bangkit seolah tidak ada masalah apa-apa. Ini yang terjadi di negeri tercinta ini, ketika satu kebohongan terbongkar, maka orang yang berbohongan tetap santai seolah tidak terjadi apapun, bahkan bersiap memulai kebohongan berikutnya. Inilah akibat ketika hati nurani sudah mati, ketika tanggung jawab moral sudah tererosi. Pembongkaran kebohongan harusnya dijadikan momentum untuk berbenah, intropeksi menjadi lebih baik.
Melihat kondisi tanah air, kebohongan-kebohongan semakin banyak yang bersiliweran didalam sistem, semakin berurat-berakar dan semakin menjadi suatu kebutuhan. Ketika kebohongan sudah bukan lagi konsumsi individu namun institusi, sudah pasti rakyat awam yang dirugikan. Ketika elit memulai hari-harinya dengan kebohongan, maka kembali rakyat yang menelan pil pahitnya. Apakah saya pesimis? Tidak. Selama masih banyak orang yang berani bersuara dan berteriak lantang. Selama masih banyak individu-individu jujur ditanah air, maka kebohongan tidak akan berumur panjang. Jadi mari kita mulai dari diri kita sendiri, jujur dalam hati, pikiran, sikap dan tingkah laku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H