Mohon tunggu...
Nafidah
Nafidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

Mahasiswa program studi hukum Universitas IsIam Negeri Sunan Ampel Surabaya

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Oligarki di Balik Layar: Mengancam Esensi Demokrasi Indonesia

12 Oktober 2024   17:14 Diperbarui: 12 Oktober 2024   17:20 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Indonesia dikenal sebagai negara dengan sistem demokrasi yang kompleks. Dengan dimulainya Reformasi pada tahun 1999, Indonesia mulai melakukan pengukuhan demokrasi, yang mana hal ini ditandai dengan adanya pemilihan umum yang bebas dan adil. Penyaluran pendapat rakyat melalui pemilihan umum (yang kemudian menjadi pemilu) diadakan secara berkala setiap 5 tahun sekali, dimana setiap rakyat yang memiliki hak suara dapat memilih secara langsung calon pemimpin mereka melalui pemilihan umum. “Prinsip Demokrasi merupakan hal yang sangat penting dan harus dicapai dalam proses pemilihan umum untuk menegakkan keadilan serta kebebasan individu dalam menentukan pilihan (Antoro, 2017)”. Indonesia sudah melaksanakan pemilu sebanyak 13 kali, terhitung sejak pemilu pertama yang diadakan pada tahun 1955 sampai dengan sekarang tahun 2024. Sistem pemilu yang ada di Indonesia telah mengalami beberapa perubahan seiring dengan adanya perubahan ketentuan UUD 1945, yang dilakukan secara bertahap pada tahun 1999, 2000, 2001, dan 2002.

Tatanan pemerintahan yang ada di Indonesia terbentuk melalui proses pemilu yang telah diselenggarakan. “Pemerintahan yang dibentuk melalui Pemilu akan memiliki legitimasi yang kuat dari rakyat. Dasar pemikiran tersebut merupakan penegasan pelaksanaan semangat dan jiwa Pancasila dan UUD 1945 (achmad edi subiyanto, 2020)”. Pemilu yang adil dan demokrasi diharapkan menjadi sarana untuk mewujudkan tata kehidupan negara dan mencapai tujuan negara yang telah tercantum dalam pembukaan UUD 1945. Pemilu diselenggarakan untuk memilih wakil rakyat yang akan duduk dalam lembaga legislatif untuk mewakili suara rakyat dan meneruskan perjuangan bangsa.

Namun, dalam prakteknya, banyak kalangan yang menilai bahwa sistem demokrasi di Indonesia ini tidak berjalan sesuai dengan semestinya. Seiring dengan berjalannya waktu, sistem demokrasi ini mulai mengalami perubahan. Indonesia terkesan sebagai negara dengan sistem oligarki, mengutip dari teori negara berdasarkan pemikiran Polybius. Polybius mengatakan oligarki adalah penggambaran sebuah perubahan dalam tata kelola pemerintahan di mana golongan bangsawan, elit politik, dan orang-orang kaya juga ikut serta dalam menindas rakyat bersama-sama dengan penguasa monarki, menciptakan atmosfer etnosentrisme dan feodalisme. Kata "oligarki" berasal dari bahasa Yunani, yaitu "oligarkhes", artinya "sedikit yang memerintah".  Fenomena ini mencerminkan dominasi pemerintahan oleh segelintir orang yang dapat memanipulasi kekuasaan dan sumber daya sesuai dengan kepentingan kelompok tertentu, menyebabkan ketidaksetaraan dan ketidakadilan dalam struktur pemerintahan. Sebagai contoh, dapat kita lihat kembali putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023. Yang mana dalam putusan tersebut, MK memutuskan bahwa kepala daerah di bawah 40 tahun dapat mengajukan diri sebagai calon wakil presiden, dengan syarat mereka pernah atau sedang menjabat sebagai kepala daerah. Dan baru-baru ini MA mengeluarkan putusan Nomor 23 P/HUM/2024, dalam putusan tersebut MA mengubah aturan penghitungan batas minimal usia calon kepala daerah.  Padahal peraturan tentang perhitungan batas minimal calon kepala daerah sebelumnya sudah termuat dalam PKPU nomor 9 Tahun 2020. Fenomena ini menunjukkan adanya kepentingan suatu pihak tertentu. Dapat kita lihat kronologi disahkannya putusan ini karna ketua umum partai garuda yakni, Ahmad Ridha Sabana yang mengajukan gugatan ke MA mengenai syarat usia calon gubernur, wakil gubernur, bupati, walikota. Dan tidak butuh waktu lama bagi MA untuk mengabulkan gugatan tersebut.

Keputusan ini membawa dampak yang signifikan bagi dinamika politik dan pemilihan umum di berbagai daerah. Hal ini tidak sejalan dengan makna demokrasi itu sendiri, seperti pengertian demokrasi menurut Sidney Hook yang mengartikan bahwa demokrasi adalah bentuk pemerintahan di mana keputusan-keputusan pemerintahan yang penting, baik secara langsung atau tidak langsung, didasarkan pada kesepakatan mayoritas yang diberikan secara bebas dari rakyat dewasa. Demokrasi seharusnya menjadi sarana bagi rakyat untuk dapat berpartisipasi dalam mengambil keputusan yang mempengaruhi kehidupannya. Namun dalam realitanya, demokrasi yang ada di Indonesia ini tidak seperti yang diharapkan oleh rakyat. Bahkan banyak dari kalangan masyarakat yang turun ke jalanan untuk menyuarakan aspirasi mereka karna pemerintah dalam mengambil keputusan dirasa hanya mementingkan kepentingan elit politik tertentu, bukan untuk kepentingan rakyat dan negara.

Indonesia sebagai negara demokrasi terbesar ketiga di dunia telah menjadi sorotan banyak kalangan, baik dari dalam maupun dari luar negeri. Meski Indonesia sering digembor-gemborkan sebagai demokrasi yang stabil, namun, masih banyak tanda-tanda yang mengindikasi bahwa kekuasaan di negara kita ini dipegang oleh kelompok-kelompok elite tertentu, yang mana hal ini memunculkan tuduhan bahwa Indonesia berada dalam bayang-bayang oligarki. Di Indonesia, kekhawatiran akan adanya oligarki mulai meningkat ketika para pengamat melihat bahwa meskipun sistem politik formal memungkinkan pemilu yang bebas dan adil, namun, di balik layar terdapat segelintir elit yang mempengaruhi proses politik. Mereka merupakan gabungan dari pengusaha, pejabat, dan tokoh-tokoh politik yang memiliki kekayaan besar serta kekuatan untuk memengaruhi pengambilan keputusan di berbagai tingkatan pemerintahan.

Pengaruh oligarki mulai terasa di berbagai aspek kehidupan politik Indonesia. Pergulatan antara demokrasi dan oligarki ini berdampak terhadap kehidupan masyarakat Indonesia, seperti ketimpangan ekonomi dan ketidakadilan yang dirasakan oleh masyarakat. Pemimpin terpilih yang seharusnya dapat mewakili suara rakyat nyatanya lebih mementingkan kebijakan politik yang menguntungkan kelompok tertentu daripada kepentingan negara dan suara rakyat. Negara kita seperti berada di persimpangan jalan, di satu sisi negara ini masih memiliki masyarakat yang aktif dan media yang kritis terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah, yang mana hal ini menjadi potensi besar untuk memperkuat demokrasi di negara kita ini. Sedangkan diisisi lain, oligarki yang semakin menguat menjadi ancaman serius bagi masa depan demokrasi Indonesia. Upaya memperkuat demokrasi dan memberantas pengaruh oligarki harus datang dari kesadaran bersama antara pemerintah, masyarakat, dan organisasi non-pemerintahan. Demokrasi bukan hanya soal pemilihan umum, tetapi juga soal distribusi kekuasaan yang adil, serta kebijakan yang berpihak pada rakyat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun