Mohon tunggu...
Nana Suryana
Nana Suryana Mohon Tunggu... -

nana suryana. kini berkaca mata minus. berjiwa so’ muda mesti tampang tampak tua. masih betah tinggal di bandung. tiap hari keluyuran mengelilingi tiap sudut kota kembang bersama angkot dan damri. kalau pun sesekali ke luar kota, cuma bermodalkan ktp untuk naik kereta krd atau kelas ekonomi lain.\r\n\r\nkritikus, provokator, pengeluh, pelamun, pembual dan pemimpi nomor wahid. pembaca setia mahabharata, ramayana, karl marx, paulo freire, jurgen habermas, hasan hanafi, abed al-jabiri, gusdur, pramudya ananta toer, andrea hirata, wiro sableng, freddy, anny arrow, dan apa pun! bahkan sesobek koran pembungkus terasi belanjaan pagi.\r\n\r\npengidap insomnia yang akut. penikmat musik classic dan film kolosal. so’ romantic and puitis. sungguh tak punya selera. pemalas, jorok, urakan, norak, dan tak suka diatur. penghisap rokok djarum super bareng kopi mocacino di tiap pagi, saat mulut masih berbau mimpi. kini, tengah belajar untuk mencintai situasi apa pun.\r\n\r\nym = nana_suryana\r\n

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Tuhan Tidak Perlu Dibela!

9 Maret 2011   17:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:55 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Proses menemukan Tuhan, seperti aliran air, tidak berhenti, terus mengalir, bersama ritme kehidupan manusia yang senantiasa berubah,dan bergerak dinamis. Namun usaha ini dilumuri ego manusia yang seolah-olah lebih tahu dari Tuhan. Akhirnya, proses menemukan dan menghayati Tuhan berubah; memperdebatkan Tuhan, mengurusi Tuhan bahkan berdarah-darah karena Tuhan—meminjam ungkapan Karel Amstrong—The Batle for God?

Dengan logika yang sederhana sekali, fenomena di atas tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Tuhan yang menciptakan dan mengurusi manusia, dibalik menjadi; manusia mengurusi Tuhan? Jika kita yakin bahwa Tuhan Mahabesar, Mahakuat, Mahamengetahui, Mahamemaksa, Mahakuasa, dan maha-maha yang lain, dengan kesimpulan yang sederhana pula, Tuhan tidak perlu “diurusin”, “diributin”, atau—sabda Gus Dur—Tuhan tidak perlu dibela!

Kita tidak perlu mendifinisikan Tuhan dengan epistemologi yang “njilmet”, sampai kulit dahi berkerut dan berdenyit, atau berdebat, hingga seluruh urat leher menggelembung. Jangan-jangan Dia sekarang terkekeh-kekeh, karena—menurut Malin Kundera—Manusia berpikir Tuhan pun tertawa! Dan jangan-jangan Dia sekarang terkekeh-kekeh ketika ada yang berpendapat, “Tuhan Tidak Beragama”, lantas seseorang berusaha, “Mencari Agama Tuhan” dan yang lain berpendapat cukup menggelikan, “Tuhan telah Mempunyai Agama”. Lantas apa bedanya Tuhan dengan manusia jika masih dilihat memiliki dan tidak memiliki agama? Apakah nanti ada sebutan Tuhan yang atheis (tidak bertuhan), Tuhan theis (bertuhan), Tuhan musyrik (polytheis), Tuhan bertauhid (monotheis) dst? ckckck...

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun