Mohon tunggu...
Ratna Sari Ferucha Hananditya
Ratna Sari Ferucha Hananditya Mohon Tunggu... -

Lulusan MIPA Kimia Unsyiah, MC, menyukai astronomi, fotografi dan senang menulis, berkecimpung di dunia Radio, saat ini aktif dengan misi pendidikan untuk anak-anak terutama anak disability anak-anak "istimewa" yang terlahir dengan kemampuan "khusus", agar generasi Indonesia menjadi lebih baik. Aktif dalam kegiatan generasi gemar membaca, & motivasi untuk generasi briliant.

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Tsunami, Bukan Sekedar Legenda Atau Dongeng Pengantar Tidur

26 Desember 2011   09:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:44 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

26 Desember 2004. Dunia juga tahu betul apa yang terjadi pada tanggal tersebut di Aceh. Sebuah musibah Maha dahsyat di dunia yang terjadi dalam kurun waktu 40 tahun terakhir. Sekaligus menutup lembaran akhir tahun 2004 dengan fenomena kisah sedih di hari minggu. Semua mata dunia tercengang, tersentak diliputi lara. Kini 7 tahun Tsunami Aceh telah berlalu. Saya tak akan membahas kesedihan yang pernah terpatri di hati, karena yakin betul hari ini ratusan media lokal, nasional, international baik media cetak ataupun  media elektronik.

menyibak lembaran kisak kelam 7 tahun yang lalu, lantas membuka mata telinga dan jujur pada diri sendiri. tak perlu membohongi hati nurani, merasa tersinggung jika banyak pihak yang menilai bahkan masyarakat Aceh sendiri, yang geleng-geleng kepala melihat kondisi masyarakat Aceh saat ini. Sekali lagi saya bukan menjudge, tapi seperti yang saya jelaskan dari awal mari kita bersikap jujur pada diri kita sendiri.  Tahun 2005 pada peringatan tahun pertama Tsunami di Aceh, nuansa religius yang begitu kental, suasana haru, tak ada aktivitas yang mencolok semua orang berbondong-bondong menuju mesjid, kuburan massal Tsunami Ulee Lheu, Lambaro serta tempat-tempat yang mengadakan zikir bersama mendoakan mereka yang telah menjadi korban musibah Tsunami. Dalam hati siapapun, pasti terasa sesak sekaligus bahagia merenungi teguran Allah tersebut mampu disikapi dengan perubahan sikap yang lebih baik.

Tahun terus berlalu, dan seiring berjalannya waktu berlalu semua kembali seperti sediakala pelan tapi pasti nuansa 26 desember berjalan sperti hari biasa, hanya beberapa ceremonial yang masih kerap di jumpai tetunya di titik-titik tertentu, seperti Ulee Lhue tempat paling parah terjadi tsunami, Kuburan massal yang tentunya setiap tahun di ziarahi oleh keluarga dari berbagai daerah yang ingin mendoakan sanak-sodara yang menjadi korban keganasan Tsunami.

sekarang setelah 7 tahun berlalu, tidak ada yang istimewa. Seperti yang sudah di perkirakan bahwa status di Facebook lah yang penuh dengan tema Tsunami, mengenang apa yang terjadi di jam yang sama. Tapi saya tertarik dengan status seorang teman saya yang menyatakan, apakah hari ini tanggal 26 desember hanya menjadi ritual up date status belaka, berdoa di dinding face book setelah itu kembali sibuk dengan aktifitas, apakah meresapi betul apa yang ditulis? jika memang serius dan sadar betul dengan maksud yang ditulis mengapa tak berzikir mendatangi mesjid atau tempat-tempat yang mengadakan zikir bersama, bahkan yag lebih sederhana bisa dilakukan dengan serius dan memahami pesan moral yang terkandung dalam peristiwa besar 7 tahun yang lalu. Anehnya lagi up date status ritual berdoa tersebut dilakukan di cafe atau warung kopi yang menyediakan wifi gratis tentunya.  Lucu sekali, ada yang lebih menyesakkan, di jam yang sama dengan 7 tahun yang lalu. Setelah meng up date status dengan tema yang meyedihkan, lara dan nestapa lantas beranjak ketempat karoke di cafe dan konser gadungan pun berlangsung, bahkan di jam yang sama dengan 7 tahun yang lalu, suara mereka melengking menyanyikan lagu genit bin mentel mengalahkan suara azan mesjid, tak lupa menyisipkan ost Film Titanic.

Mengenang Tsunami memang bukan berarti harus bersedu sedan dalam pilu tetu saja bukan itu yang penulis maksud, hanya saja semudah itukah kita melupakan peristiwa bersejarah yang menelan ribuan korban jiwa, bukankah moment ini bisa menjadi pembelajaran bagi kita semua, memperbaiki moral dan ahklak untuk menjadi lebih baik. Saya rasa tak perlu menjelaskan detail perbedaan gaya hidup di Aceh sebelum dan sesudah Tsunami, toch anda sudah sangat paham, bahkan hati menjadi semakin terluka saat orang tua,masyarakat yang banyak mengeluh dengan tingkap polah yang kerap kita jumpai dijalan raya, berpelukan, bercumbu, bahkan melakukan hal yang tidak senonoh di jalan raya bahkan truk semen yang di depan mata pun tak di hiraukan. Pihak luar pun tak perlu ragu-ragu kala mempublish itulah kehidupan yang sebenarnya di Aceh, bahkan miris sekali saat ada media yang pernah mempertanyakan Gelar SERAMBI MEKKAH apakah masih pantas di sematkan di Propinsi yang pernah menjadi daerah Istimewa, jika suara azan jangankan dari mesjid yang sudah jelas kalah saing gemanya, bahkan suara azan dari telivisi di cafe pun kontras sekali dengan lengkingan perempuan-perempuan yang sedang mengeksplorasikan suara karokean mereka.

7 tahun telah berlalu, semua menjadi kembali seperti biasa seolah tak pernah terjadi apa-apa disini di tempat yang sama, cukup bendera setengah tiang yang menjadi simbol. Mengenang Tsunami memang tak berati harus meratap, bukan tentu saja bukan hal itu yang diharapkan, tetapi pada perubahan sikap, moral, kepribadian mejadi lebih baik.

Mengutip sebuah slogan dari sebuah lomba, akankah Tsunami 26 desember 2004 yang pernah meluluhlantakkan Aceh serta meluluhlantakkan hati, hanya akan menjadi sebuah dongen pengantar tidur belaka? Toch untuk mengenangnya serta memberi bukti bagi generasi yang akan datang, sudah cukup dengan Monumen dan gedung Tsunami yag telah di bangun dengan megahnya di pusat kota yang cukup sebagai bukti agar mereka percaya. bahkan saya sempat terkejut, saat seorang bocah berusia 7 tahun, pada Maret 2011, saat ia melongo menonton berita di televisi, tentang Tsunami di Jepang. Bocah tersebut dengan polos berkata, Tsunami itu seperti apa? mengerikan sekali ya! dan yang lebih miris sekali, bocah lelaki itu baru mengerti betul tentang Tsunami setelah kejadian melanda Jepang, saat saya menjelaskan Tsunami pernah terjadi di Aceh, di tempat dia berdiri, justru dia tidak tahu menahu. Ah secepat itukah kita melupakan sejarahnya? Pernahkan kita menceritakan tentang kearifan lokal yang dilakukan oleh penduduk simuelu? Adakah kita mengajarkan tentang Mitigasi bencana, mengajarkan kisah tersebut beserta tindakan yang harus dilakukan? sekedar mengajarkan agar jangan terulang kembali kisah pahit yang sama untuk mereka, akan jangan mendatangi laut dan memunguti ikan yang terdampar menggelepar di laut pasca gempa? agar tidak mengulangi kesalahan yang sama. Semua kembali kepada diri kita masing-masing, karena bagaimanapun kita memiliki hutang moral pada generasi yang akan datang.

Besar harapan kita semua agar momen ini tidak hanya di peringati sebagai ritual belaka, yang hanya di kenang 1 hari saja, atau hanya menjadi tanggal penting di kalender saja seperti kita memperingati momen hari pahlawan, hari kemerdekaan, hari sumpah pemuda, hari pendidikan nasional dan lain sebagainya hanya sebagai ritual saja setelah itu semua pun berlalu menguap seperti air laut yang menguap setiap detiknya.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun