Ada dua pendapat ulama yang berbicara mengenai kehujahan hadits dha’if yang bukan hadits maudhu sebagaimana diungkapkan oleh Fatchur Rahman,[1] yaitu:
- Melarang secara mutlak meriwayatkan segala macam hadits dha’if, baik untuk menetapkan hukum, maupun untuk memberi sugesti amalan utama.
- Membolehkan meskipun dengan melepaskan sanadnya dan tanpa menerangkan sebab-sebab kelemahannya, untuk memberi sugesti, menerangkan keutamaan amal dan cerita-cerita, bukan untuk menetapkan hukun-hukum syariat, seperti halal dan haram dan bukan untuk menetapkan akidah.
-       Sementara Hasbi Ash-Shidieqy[2] menyebutkan tiga pendapat ulama hadits dalam menyikapi kehujjahan hadits dha’if ini, yaitu: Pertama, hadits dha’if  sama sekali tidak boleh diamalkan baik dalam soal hukum maupun dalam soal targhib. Pendapat ini dianut oleh Imam Bukhari dan Muslim. Kedua, boleh dipergunakan untuk menerangkan soal-soal fadhilah. Pendapat ini dianut oleh Imam Ahmad dan Ibnu Abd al-Bar. Ketiga, boleh dipergunakan dengan syarat apabila dalam satu masalah tidak diketemukan hadits shahih dan hasan. Pendapat ini dianut oleh Imam Abu daud dan Imam Ahmad.
Sementara itu, Ibnu Hajar al-Asqalani memandang boleh berhujjah dengan hadits dha’if untuk alasan fadhail a'mal (hadits yang berbicara tentang keutamaan-keutamaan dalam beramal). Akan tetapi, untuk itu beliau memberikan syarat-syarat seperti:
- Hadits dha’if itu tidak keterlaluan, dalam arti hadits itu tidak diriwayatkan oleh rawi yang pendusta, tertuduh dusta serta banyak salah.
- Dasar amal yang ditunjuk oleh hadits dha’if tersebut masih dibawah suatu dasar yang dibenarkan oleh hadits yang dapat diamalkan (shahih dan hasan). Contoh hadits "Siapa yang menghapal empat puluh hadits sampai mau menyampaikan kepada umat, aku bersedia menjadi pemberi syafaat dan saksi padanya, dihari kiamat kelak". Hadits ini memiliki muttabi hadits shahih: "Raulullah bersabda: Hendaknya diantara kamu yang menyaksikan, menyampaikan kepada orang yang tidak menyaksikan".
- Dalam mengamalkannya tidak mengi'tikadkan bahwa hadits tersebut benar-benar bersumber kepada Nabi. Tetapi tujuan mengamalkannya hanya semata-mata ntuk ihtiyat belaka.
- Dalam hal ini penulis lebih condong pada pendapat yang kedua, dengan sebuah argumen bahwa masih banyak hadits shahih yang lebih kuat dasar hukumnya yang masih bisa kita jadikan sandaran hukum.
[1] Fatchur Rahman, Ikhtisar Mushthalahu'l Hadits, (Bandung: Al-Ma'arif, 1974) hlm. 229
[2] Hasbi Ash-shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu hadits, (Semarang: Pustaka Rizki Putra, 2009) hlm. 174
#jurnalistikuinjogja16 #ilmukomunikasiC
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H