Menjelang awal bulan Ramadhan, umat muslim seluruh dunia akan melaksanakan rukun ke 3 dari rukun Islam, yaitu puasa.
Pada hakekatnya puasa adalah menahan lapar dan dahaga, dimana makna yang lebih luas yaitu solidaritas terhadap kehidupan umat muslim yang hidupnya kekurangan, miskin atau "papa". Ini yang diamanatkan oleh junjungan kita Nabi Muhammad s.a.w.
Dengan bergulirnya waktu, bergantinya zaman ke zaman, hakekat puasa tidak pernah bergeser dari makna tsb. Ini berarti siapapun dia, ditingkat apapun sosialnya, besar kecil, kaya miskin, amanat suci ini tidak bisa digantikan dengan apapun.
Untuk menyambut hari2 berpuasa, kita diharuskan makan diparuh waktu tengah malam yang dinamakan sahur. Sudah menjadi tradisi umat muslim mempersiapkan sahur dengan berbagai macam penganan lauk pauk, mulai yang ringan seperti tumis2 ikan dan ikan teri, sampai yang kelas berat seperti rendang daging dan ayam bakar dan goreng.
Tetapi disinilah seringnya hakekat sesungguhnya puasa itu dicederai. Mengapa saya mengatakan begitu? Marilah kita perhatikan sejenak, bagaimana perilaku umat muslim kita saat ini. Sadar atau tidak euforia datangnya bulan puasa ini membuat gegap gempita perekonomian kita. Betapa tidak? harga2 komoditi kebutuhan pokok sehari-hari melonjak tidak terkendali. Kalau saja tidak ada operasi pasar, inspeksi mendadak atau sidak, harga2 itu akan membubung tinggi dan tinggi.
Berangkat dari sinilah makna puasa itu patut dipertanyakan. Wahai umat muslim sekalian, apakah kita sadar dengan perilaku atau tabiat kita dalam menyambut bulan suci ini? Bukankah Nabi besar kita jelas2 mengamanatkan bahwa "puasa adalah menahan lapar dan dahaga, turut merasakan penderitaan umat muslim yang tidak mampu, miskin dan papa? Bagaimana nasib mereka kalau untuk makan sehari-hari saja mereka tidak mampu membeli bahan2 kebutuhan pokok, sekarang mereka harus berpuasa, sedang harga2 melonjak tidak terjangkau? Apakah puasa hanya miliknya orang2 yang mampu? Wahai kaumku sekalian, dimana hati nurani kita, masih adakah????
Tragisnya lagi, kesempatan ini digunakan oleh pebisnis menaikkan harga sesuka hatinya!!!.... Apakah ada orang yang berpikir sampai kesini?. Mengapa kita tidak makan seperti hari2 biasanya saja? Agar tidak terjadi lonjakan2 harga, dan umat muslim yang tidak mampu itu bisa tetap membeli kebutuhan mereka untuk persediaan agar bisa berpuasa?????
Sekarang marilah kita meluangkan waktu sejenak melihat-lihat kekolong jembatan, kebantaran bantaran kali, bagaimana dan apa yang mereka makan tadi malam? Saya sangat yakin, dengan melonjaknya harga2 dipasar, mereka hanya bisa membeli sisa2 atau buangan ikan dan sayur mayur yang tidak layak lagi dimasak.
Walaupun dibulan puasa ini banyaklah diantara umat muslim yang berduit memberi sumbangan makanan kepanti-panti atau kemasyarakat tidak mampu, tapi tetap saja hal ini belum akan mengatasi kesulitan mereka yang miskin lainnya.
Sampai disini saya tidak mampu lagi menuliskan, karena saya merasa malu hati ketika kemarin saya kepasar dan mau membeli kebutuhan makanan untuk dimasak sahur. Dimana saya melihat seorang ibu yang berpakaian cukup mahal menurut saya, dengan perhiasan yang cukup menyolok. Ibu tersebut kelihatan panik memborong daging sapi, karena ada informasi bahwa daging sapi sebentar lagi akan melonjak! Lah naiknya hanya sepuluh ribu rupiah saja kok. Perilaku kemaruk beginilah yang membuat situasi pasar menjadi fluktuasi. Bayangkan dengan umat muslim yang miskin,... mudah2an mereka tidak pingsan, dan tetap diberikan kekuatan oleh Allah dalam menghadapi bulan suci Ramdhan yang kita cintai ini........ Amin,......
Sambil menahan perih didada, hanya doa itulah yang terlintas dibenak saya, waktu melihat ibu itu.
Sekian dan salam kompasiana.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H