Mohon tunggu...
Namira Rizkiana
Namira Rizkiana Mohon Tunggu... -

Anak sastra sotoy dan nekad yang hijrah ke dunia perbankan. Damn!

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ketika Moral Beradu Lapar Dahaga

7 Mei 2010   17:42 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:20 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Erangan. Hidupku bising dengan suara erangan. Malam ini. Kemarin. Esok. Lusa. Erangan. Sama saja. Aroma menyengat dan dentingan botol-botol kaca. Bau khas peluh. Ranjang berderit. Gelap. Hidupku gelap. Sudut ini satu-satunya penyanggaku.

Tempatku mengadu. Hanya pada dinding-dinding bisu. Saat pintu terbuka, pertanda aku harus beranjak. Wanita itu melemparkan lembaran uang kertas. Untuk mengisi perut. Dua puluh lima langkah. Hidupku hanya sebatas itu. Ruangan ini. Kegelapan. Suara mengerang. Aku begitu membenci mereka. Mereka yang silih berganti melewati ruangan ini. Mereka entah siapa. Mereka dan wanita itu. Teriakan. Desahan. Erangan. Makian.

Aku benci semuanya.

Aku juga begitu mengharapkan mereka.

Tanpa mereka tak ada lembaran uang kertas yang dilemparkan kepadaku.

Mengganjal perut dengan lengan.

Tanpa panganan. Menahan tamparan dan hantaman. Wanita itu dan amarah.

Buset.. siape ‘ni? Ada barang bagus ngapa disembunyiin?? ” Tangan-tangan dingin itu membelai risih wajahku suatu malam. Sekuat tenaga aku mencoba menampiknya, namun tangan-tangan itu mencengkram semakin kuat. Menghempaskan tubuhku layaknya sehelai kain lusuh tak berdaya. Meremas payudara dan merobek sisa helai kain yang menutup tubuh ini. Bahkan mulut beraroma sengit memuakkan mulai merambah dadaku. Aku menjerit. Meronta.

PRAAAAANGG!!!

Tubuh laknat itu tiba-tiba menjauh dari tubuhku. Tangan-tangan dinginpun mengelak.

“Anjing ya lo! Bangsat! Jangan coba-coba lo sentuh anak gue, bajingan! Lo boleh make gue seenak kont*l lo! Tapi jangan sekali-kali lo nyentuh dia! Pergi lo, bangsat!!”

Gelap. Hidupku gelap. Masih tersisa di pipi. Sisa butiran-butiran hangat yang terus membasahinya.

“Udah gue bilang, konci terus ni pintu kalo gue lagi ada tamu!! Tolol!!”

“Mak.. kenapa emak melakukan semua ini?” Tanyaku terisak.

“Buat operasi mata lo, biar lo bisa sekola, jadi orang bener!”

“Mak.. tidak usah mak. Lebih baik saya hidup bersama kegelapan ini, daripada saya harus melihat terangnya kenyataan yang lebih menyakitkan..”

Mereka memanggil dia jalang, lonte, atau perek. Tapi buatku yang buta, Emak adalah pahlawan.

-----

Dedikasi bagi kaum wanita kuat yang termarginalkan. Sungguh beruntung mereka yang buta. Tapi sungguh disayangkan mereka yang bisa melihat namun berpura-pura buta.

Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun