Pagi ini kau tampak gelisah. Jarum jam masih menunjukkan jam lima kurang sepuluh. Di tempat kita tinggal sang fajar memang mengintip lebih awal. Kau sudah terjaga diantara sautan desah nafas dan berdiri disamping jendela kayu. Selalu seperti itu. Aku memang kerap memperhatikanmu, tanpa kau sadari. Aku selalu bertanya-tanya apa yang kau pandangi dari balik jendela kusam itu. Bukan matahari terbit yang kau cari. Bukan. Jendela kamar ini menghadap ke barat. Tidak akan kau temui semburat indah jingga di pandangan mata di jam seperti ini. Jika memang ya, seharusnya kau berdiri di jendela lainnya yang menghadap ke timur, dengan segelas teh hangat atau susu jahe ditanganmu. Aku tau persis bukan itu yang kau cari. Lalu apa?
Suatu malam aku menemukanmu gundah. Memeluk erat tubuhmu dengan kedua lenganmu sendiri. Sesekali menggigit jarimu. Lihatlah, bulan sedang tersenyum. Jejangkrik sedang bercumbu. Sepertiga malam ini kita bercengkrama. Bukankah seharusnya kita gembira menikmatinya? “Karena itulah, aku gelisah. Karena kita terlalu menikmatinya”. Hanya itu jawabmu. Menyisakan kerutan di dahiku. Di akhir malam ini kau tidak melewatinya bersamaku. Kau dan jendela itu. Lalu tersenyum.
[caption id="attachment_83557" align="aligncenter" width="200" caption="courtesy : Wibisono TGP"][/caption]
Cahaya kuning menyelinap dari sela-sela bilik bambu. Aku terjaga dan menyadari kepergianmu. Hanya menemukan jejak langkahmu tercecar diatas tanah basah. Tulisan ini aku temukan, diantara halaman koran pagi yang lembab terselimuti embun pagi. “kuseluri jalan setapak yang membelah sisi hatimu. Tetapi tak kutemukan siapa-siapa. Bahkan namaku pun tak tercantum di ujungnya –Sapardi Djoko Damono.
Tunggu aku disuatu jingga, mungkin rindu akan membawaku ke jendela itu lagi. Atau mungkin lebih baik aku pergi karena hanya dengan cara itu aku bisa merasa dekat…”
Aku bergegas dan merapihkan seisi rumah. Menyiapkan sarapan dan menuangkan air hangat ke secangkir teh milikmu. Lalu menaruh pot bunga berwarna hijau di depan jendela kusam itu. Mungkin kau akan menyukainya. Berharap kau hanya akan pergi satu hari saja. Aku terdiam disudut jendela seperti yang selalu kau lakukan. Jalan setapak diantara kumpulan daun teh, berujung pada suatu lembah yang dalam. Hanya itu yang selama ini kau pandangi. Ya, hanya itu. Aku kini menyadarinya. Hanya jalan itu yang satu-satunya kau pahami. Sebuah kenangan. Itu yang kau lihat selama ini denganku. Dengan cara itu satu-satunya aku akan hidup dihatimu. Kepergianmu adalah sebuah awal bagiku. Bahkan, kau sudah mengetahuinya sejak dulu. Pertemuan kita adalah awal dari sebuah akhir.
**
[Cihaur, Juli 2009] Untuk dia dan Fikri.. Kenapa harus? :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H