Kita sering berkata, kampanye hitam(black campaign) adalah dosa. Tapi rupanya di Indonesia jarang yang takut dengan dosa karena dosa tidak membuat orang lantas tiba-tiba benjol di kening, atau langsung buta matanya, copot lidahnya, atau semacam itu begitu seseorang itu berbut dosa. Sampai-sampai ada beberapa pihak di negeri ini yang telah memiliki predikat tertentu pada agama yang dianutnya secara sadar mendirikan media yang tampaknya sengaja diperuntukkan sebagai alat menyebarkan kebencian terhadap pihak lain dan sebagai sarana kampanye hitam satu kelompok tertentu pula. Orang-orang ini seolah telah "kebal" dosa.
Mengapa kampanye hitam laku keras di negeri ini? Ibaratnya dagangan, kalau tidak laku tentu akan segera disingkirkan. Untuk apa diperpanjang kalau memang tidak mampu mendatangkan keuntungan? Sebaliknya, kampanye hitam ternyata tidak dapat ditinggalkan oleh kelompok dan orang yang ingin berkuasa di pucuk pemerintahan.
Menurut pendapatku sebagai masyarakat awam, masih larisnya kampanye hitam ini karena, pertama, rakyat Indonesia belumlah cerdas cerdas amat. Saudara boleh membantah ini dengan menunjuk hasil Pilgub DKI Jakarta yang ternyata dimenangkan oleh Jokowi-Ahok walaupun semasa kampanye dua putaran itu mereka terus didera kampanye hitam khususnya menyangkut SARA. Okelah, untuk DKI Jakarta. Sebagian besar masyarakatnya sudah pintar karena memang Jakarta adalah tempat berkumpulnya lebih banyak orang berpendidikan daripada di tempat - tempat lain di Indonesia. Bagaimana dengan wilayah-wilayah pedesaan dan kota-kota kecil? Bukankah sebagian besar penduduk negeri ini tinggal di sana? Dan kita semua tau bahwa tingkat pendidikan masyarakat di sana jauh sekali dibanding pendidikan orang Jakarta. Bagi golongan masyarakat ini 'kualitas' seorang calon pemimpin bukan menjadi pertimbangan utama untuk dipilih, melainkan 'isu' yang menyertai si calon lah yang menjadi penentu!
Yang kedua, tipe masyarakat Indonesia adalah masyarakat yang "sangat mudah" termakan hasutan (provokasi). Apakah itu tentang hal yang menyangkut kelompoknya, agamanya, profesinya, atau hartanya. Contoh kecil, berteriaklah "maling" sambil menunjuk seseorang. Seketika saja orang itu bisa tewas dipukuli massa. Atau katakan saja si anu telah menghina Islam. Langsung menderita itu orang. Boleh juga dilihat perseteruan antar masyarakat di NTB yang seolah tak ada ujungnya itu. Demikian juga di beberapa daerah lain. Bukankah sifat ini yang dimanfaatkan penjajah Belanda di masa lalu dalam melancarkan polotik adu dombanya?
Yang ketiga, tingkat kepercayaan masyarakat negeri ini akan isu, gosip, kabar burung, fitnah, yang selalu ditandai dengan "katanya" ternyata cukup tinggi. Orang dengan mudah percaya dengan berita apa pun yang tertangkap oleh telinganya. Mirisnya, seseorang yang sudah terlanjur percaya dengan "telinganya" itu akan berusaha membela mati-matian apa yang didengarnya itu. Sepuluh hari yang lalu aku pergi ke suatu tempat dalam rangka pekerjaan. Di sana, sewaktu istirahat aku berbincang-bincang dengan tiga orang ibu, pegawai di sana. Aku yakin mereka tergolong ibu yang baik karena ketiganya memakai jilbab. Tetapi, tanpa ragu sedikitpun mereka berkata, jangan pilih JKW karena dia itu sesungguhnya cina yang memakai nama jawa. Lalu kutanya dari mana mereka tau, jawabannya, katanya begitu. Waktu aku tanya kata siapa, katanya memang begitu! Wadduh! Adalah hak siapa saja untuk memilih siapa saja sebagai pemimpin negerinya. Tetapi sungguh disayangkan bila dasarnya untuk tidak memilih karena faktor 'katanya', karena sebenarnya ia telah tertipu.
Di sisi lain, di pihak yang berwenang di negeri ini, pekerjaan menyebarkan kebencian belum dianggap sebagai kejahatan. Maka dengan tidak sungkan ada pihak-pihak yang terus melancarkannya. Karena toh, pembiaran adalah tanda persetujuan. Ambil contoh, ada beberapa media keagamaan (on line dan cetak) di Indonesia yang terus-menerus tanpa jeda menyebar fitnah-fitnah plus kebencian terhadap suatu kelompok, namun pihak terkait (keminfo) seolah buta! Lain halnya kalau itu tentang sebuah media yang sempat menayangkan kampanye "erotis"Â partainya, langsung diberangus.
Jadi menurutku, inilah diantara penyebab larisnya kampanye hitam di negeri ini. Karena calon dan pihak-pihak pendukungnya tau betul bahwa dagangannya akan laku keras dengan tehnik hitam tersebut. Dan kenyataannya, cara itu memang membawa dampak. Ya, sebagai pedagang, tentu sangat sayang bila peluang itu dilewatkan. Apalagi pihak berwenang adem-ayem saja, kok. Soal halal-haram, dosa-tak dosa, yang penting kan menang!?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H