Menyedihkan sekali kalau sampai kita tidak sedih dengan perkara-perkara amoral yang terus memberondong negeri tercinta ini. Beragam tindakan yang kita harapkan "tidak"terjadi di tanah yang berke-Tuhan-an Yang Maha Esa ini justru menjadi pemandangan sehari-hari yang mempermalukan kebergamaan kita sendiri. Dari kasus kekerasan seksual yang tidak masuk akal, pembunuhan oleh anak di bawah umur, penyebaran fitnah-fitnah yang dilakukan oleh mereka yang semestinya menjadi teladan, sampai korupsi oleh mereka yang sebagian besar usia hidupnya dihabiskan di lingkungan keagamaan, berikut deretan-deretan tingkah laku aneh lainnya, tampak semakin memperburuk wajah moral kita.
Apa sesungguhnya yang sedang terjadi ini? Apakah yang menjadi sebab semua ini? Mengapa praktek hidup yang dipertontonkan anak negeri ber-agama ini sama saja dengan manusia bar-bar masa lampau?
Ada temanku yang mengatakan bahwa semua yang terjadi belakangan ini adalah ulah setan atau iblis. Setan atau iblis telah merasuki hati, pikiran, dan jiwa manusia-manusia Indonesia di segala usia, gender, maupun status. Itu sebabnya manusia telah kehilangan kemanusiaannya.
Lalu, di mana Tuhan? tanyaku. Dengan mudah dia menjawab, di Sorga! Kalau benar ini semua ulah setan, syaitan, iblis, atau apalah namanya, mengapa Tuhan sampai hati membiarkan umatnya "digembalakan" oleh setan? Mengapa IA seolah tak perduli?
Aku tau, banyak yang setuju dengan temanku tadi, bahwa tindakan-tindakan amoral yang dilakukan manusia umumnya didalangi oleh setan. Dulu, 100% aku setuju. Tapi hari-hari ini tampaknya persenku mulai berkurang. Dari sejak mulanya sampai hari ini, segala kesalahan manusia melulu ditimpakan kepada setan atau iblis. Ada yang ketahuan berzina, ulah setan. Ada yang kena narkoba, setan juga. Ada tokoh yang korupsi, juga kesalahan setan. Sungguh sial nasib syaitan ini. Untung saja aku tidak diciptakan sebagai setan.
Menurutku, manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai mahluk yang berakal, berpikiran, tidak seperti robot. Manusia punya hak memilih sepenuhnya, tau yang baik dan yang buruk. Jadi pada dasarnya apa yang dilakukan oleh seseorang adalah hasil dari pilihannya sendiri. Oke, kalau dikatakan, setan akan selalu menggoda manusia. Bukankah terserah manusia, mau digoda atau tidak? Bukankah di sini setan hanyalah sebagai sales saja? Mau beli atau tidak, keputusan tetap di tangan manusianya.
Yang kedua, aku pernah membaca bahwa: pada hari-hari terakhir manusia akan memcintai dirinya sendiri dan menjadi hamba uang. Mereka akan membual dan menyombongkan diri, mereka akan menjadi pemfitnah, mereka akan memberontak terhadap orang tua dan tidak tahu berterima kasih, tidak memperdulikan agama, tidak tahu mengasihi, tidak mau berdamai, suka menjelekkan orang, tidak dapat mengekang diri, garang, tidak suka yang baik, suka menghianat, tidak berpikir panjang, berlagak tahu, lebih menuruti hawa nafsu dari pada menuruti Allah.
Jadi, apa yang terjadi sekarang ini memang sudah dinubuatkan sejak berabad yang lalu. Dan kalau dicermati, di sana tidak ada disebutkan kalau ini semua merupakan ulah setan. Manuasialah yang berperan aktif melakukannya ( menurut pandanganku sebagai orang awam ).
Yang ketiga, kejadian-kejadian yang memiriskan hati kita belakangan ini adalah bukti bahwa di Indonesia telah terjadi kegagalan transformasi nilai-nilai moral dasar agama. Proses pengubahan pola pikir manusia yang kemudian tercermin lewat tingkah laku dan perbuatan-perbuatan individu penganut agama di Indonesia telah mengalami kegagalan total. Baik itu pada masyarakat awam pun pada masyarakat penyiar agama sendiri. Maka, sangatlah memuakkan kalau masih ada yang terus-menerus membangga-banggakan agamanya sendiri di hadapan negeri ini.
Menurut pendapatku, sebagai orang awam, kegagalan proses transformasi nilai-nilai moral dasar agama itu terjadi oleh kerena kita, dalam beragama, terlalu terpaku kepada penonjolan aspek-aspek luar saja. Kita kelewat membanggakan segi aksesoris keagamaan kita yang tampak luar saja. Kita sangat bernafsu menunjukkan bahwa kita orang yang beragama, tetapi sedikit sekali yang berani menyatakan dirinya sebagai orang yang bermoral. Sementara, aspek terpenting, yaitu dalamnya, terlupakan.
Seperti mata air, yang selalu bersumber dari kedalaman. Jika sumber yang di dalam merupakan mata air yang baik, pastilah yang muncul ke luar adalah yang baik pula. Tapi nyatanya, sumber kita amatlah pahitnya, sehingga hari-hari ini kita terpaksa menelan kepahitan itu.