Mohon tunggu...
Namira Aminatuzahra
Namira Aminatuzahra Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga (20107030040)

Beginner

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Xenofobia: Cerminan Orang Korea, Apa Betul?

9 Maret 2021   15:30 Diperbarui: 9 Maret 2021   16:05 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://givingcompass.org/partners/ncrp/philanthropys-role-in-responding-to-xenophobia

Mungkin sebagian dari kita baru pertama kali mendengar istilah ‘xenofobia’. Kata ini muncul dengan tagar #XenophobiaIsNotJoke dan menjadi trending di media sosial Twitter beberapa waktu lalu yang menyeret salah satu nama idol K-Pop, Jisoo Blackpink. Lantas, apa sebenarnya xenofobia itu? Dan apa hubungan xenofobia dengan kondisi sosial masyarakat di Korea Selatan? Untuk penjelasan lebih lanjut, mari simak artikel ini.

Apa Itu Xenofobia?

Menurut Cambridge Dictionary, padanan kata xenofobia atau xenophobic merujuk pada ketidaksukaan; atau ketakutan ekstrem terhadap orang asing atau sesuatu yang belum dikenal. Sedangkan, definisi xenofobia menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perasaan benci (takut, waswas), terhadap orang asing atau sesuatu yang belum dikenal; kebencian pada yang serba asing. Beberapa definisi juga menyatakan bahwa xenofobia terbentuk dari keirasionalan dan ketidakmasukakalan.

Dari dua pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa xenofobia dimaknai sebagai ketakutan berlebihan terhadap seseorang yang berbeda dengan kita. Rasa ketakutan pada seseorang atau kelompok ini memiliki dampak yang buruk juga, lho. Rasa ketakutan akibat xenofobia ini memungkinkan seseorang untuk berperilaku diskriminatif terhadap hal yang ditakutinya, baik secara langsung maupun tidak langsung. Xenofobia juga kerap dikaitkan dengan perilaku rasisme, meski sekilas terlihat sama, tetapi sebenarnya xenofobia berbeda dengan rasisme. Singkatnya bahwa xenofobia bisa memicu seseorang untuk bersikap rasis terhadap pihak yang dianggap asing oleh dirinya. Xenofobia sendiri tidak termasuk dalam gangguan mental, namun juga tidak bisa kita sepelekan. Dampak dari xenofobia sendiri cukup meresahkan, bahkan juga berdampak buruk bagi orang lain yang dianggap berbeda oleh sekelompok dari golongan tersebut.

Lantas Apa Hubungan Xenofobia dengan Kultur Sosial Masyarakat di Korea Selatan?

Bagi kalian penggemar Korean Wave atau apa pun yang berbau kekoreaan, pasti sudah tak asing dengan ungkapan “ Kehidupan Korea Selatan Tak Semanis Dramanya”. Penasaran dengan jawabannya? Pada pembahasan artikel ini mungkin akan membantu kita memahami arti dari ungkapan di atas.

Pernahkah kalian menonton salah satu program acara reality show berjudul “My Neigbhour, Charles” di channel Youtube KBS World? Jika belum, untuk sedikit gambaran dari apa yang akan kita bahas, mungkin kalian bisa mencoba untuk menontonnya. Sedikit menyinggung mengenai “My Neighbhour, Charles”, reality show ini membahas seputar kehidupan WNA dan apa saja struggle yang mereka hadapi saat tengah menetap di Korea Selatan. Saya sendiri, setelah menonton beberapa episode dari acara ini, menemukan fakta bahwa memang sebagian besar masyarakat di Korea Selatan masih berperilaku rasis dalam menyikapi para pendatang atau orang asing ke negara mereka. Tetapi juga, tidak menutup kemungkinan masih terdapat masyarakat yang ramah kepada pendatang. Istilahnya begini, mereka itu menginginkan masyarakat global memandang mereka sebagai negara yang ramah. Tetapi, di sisi lain mereka sepertinya tidak bisa menghilangkan fobia yang sudah mendarah daging pada diri mereka. Ya, xenofobia. Saya pun tidak terlalu kaget mengetahui realita yang ada di negara tersebut. Sebagai contohnya, saya masih kerap mendengar kasus beberapa idola K-Pop yang mendapat perilaku rasisme dari berbagai kalangan.

Artikel dari situs The Korea Times menyebutkan bahwa berdasarkan survei yang dilakukan pada tahun 2018 oleh Overseas Koreans Foundation tentang pendapat mereka mengenai banyaknya warga negara asing yang kini bekerja dan menetap di Korea. Nyaris 57 persen warga negara Korea Selatan menyatakan bawa mereka tidak memerhitungkan atau menganggap pekerja asing sebagai bagian dari masyarakat Korea. Sementara itu, 13,4 persen menyatakan oposisi terhadap kondisi tersebut. Sisanya, yaitu 29,3 persen mengatakan bahwa sikap mereka tergantung pada negara asalnya. Survei tersebut mencerminkan kondisi xenofobia yang masih mengakar kuat dalam diri masyarakat Korea.  Meskipun pemerintah di sana kerap mempromosikan tentang multikulturalisme, tetapi hasil yang didapat dari survei tersebut malah lebih tinggi 3,6 persen dibanding dengan survei sebelumnya, yakni pada tahun 2013 lalu.

Lalu, apa sebenarnya alasan masyarakat di Korea Selatan masih cenderung mengalami xenofobia yang berujung pada tindakan rasisme? Yang pertama, sebenarnya problematika ini berkaitan erat dengan kondisi masyarakat di sana, yaitu mereka termasuk masyarakat yang homogen. Menurut sebuah artikel di situs The Korea Times masyarakat Korea sudah dididik sejak bangku sekolah dasar bahwa mereka ini “ethnically homogeneous” atau homogen secara etnik. Prinsip ini masih dijunjung tinggi oleh masyarakat Korea. Hal yang lumrah jika mereka masih belum sepenuhnya dapat menerima warga asing yang tinggal di negaranya. Selain faktor kepribadian tersebut, aspek pendidikan juga turut memengaruhi. Di mana, orang Korea yang masih berpendidikan rendah, terutama dari kalangan orang tua cenderung untuk bersikap rasis dan antipati terhadap orang-orang yang menurut mereka asing dan berbeda dari mereka. Lain halnya dengan orang-orang modern atau biasa kita sebut sebagai kaum milenial, para generasi ini ternyata cukup berpikiran lebih terbuka dan mau menerima perbedaan.

Terlepas dari fenomena di atas, meskipun terdapat anggapan negatif dari masyarakat Korea kepada para pendatang, tetapi masyarakat Korea sendiri mengaku tidak peduli dan lebih mementingan kepentingan diri mereka dibandingkan memusingkan hal-hal lainnya. Rata-rata masyarakat di Korea juga sudah mulai menyadari bahwa negara mereka perlahan menjadi negara yang multikultural, misalnya adalah tren kawin campur dan kebutuhan tenaga kerja yang meningkat. Sehingga, mau tak mau mereka membutuhkan para pekerja asing tersebut. So, jika di antara kalian memiliki niatan atau rencana untuk tinggal di sana, tidak perlu lagi merasa takut  dan cemas berlebihan dalam menghadapi permasalahan tersebut, yaa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun