Dinasti politik merupakan kekuasaan politik yang dilakukan secara turun-temurun ke anaknya. Politik dinasti ini identik dengan sistem negara yang bersifat kerajaan.
Menurut Ari Dwipayana, adanya tren politik kekerabatan ini sebagai bentuk gejala neopatrimonialistik yang bersumber dari sistem patrimonial dimana regenerasi politik berdasarkan ikatan genealogis ketimbang merit sistem yang penuh dengan prestasi. Hal ini menjadi anomali pada negara yang menganut sistem demokrasi.
Pada negara yang menganut sistem demokrasi, pemimpin dipilih oleh rakyat dengan melalui pemilihan baik didaerah maupun di pusat.
Hal ini berkebalikan dengan negara yang menganut sistem monarki, dimana seorang pemimpin dipilih berdasarkan anak turunannya seperti di negara Inggris, Arab Saudi dan negara lainnya.
Untuk itu, adanya sistem dinasti politik ini dapat menurunkan proses demokrasi di suatu negara. Menurut Ari Dwipayana, dampak buruk adanya dinasti politik ini dapat berpengaruh pada penciptaan sistem pemerintahan yang bersih (good Governance) serta tidak memberikan orang yang kompeten untuk berpartisipasi dalam pemerintahan maupun politik.
Selain itu, menjadi pemimpin di daerah tentunya tidak semudah membalikkan telapak tangan karena permasalahan di daerah lebih kompleks.
Untuk itu, rakyat perlu pemimpin yang mempunyai karakter kuat dan berpengalaman karena kesalahan dalam pengurusan pemerintahan di daerah mempunyai dampak buruk pada pertumbuhan ekonomi daerah.
Dinasti politik ini harus menjadi perhatian pemerintah karena dengan adanya sistem ini menunjukkan bahwa Indonesia kekurangan sosok pemimpin yang mempunyai kompetensi yang baik.
Menurut arif nurul imam, dinasti politik ini akan menghambat dari sisi kesejahteraan dan keadilan bagi masyarakat kecil dan dinasti politik ini merupakan hal lumrah di negara lain tetapi dinasti ini bersifat meritokrasi bukan berdasarkan pada hubungan darah semata.
Meritokrasi ini merupakan kepantasan seseorang dalam menduduki suatu pemerintahan atau politik karena prestasinya. Hal ini harus menjadi pertimbangan pemerintah dalam mengajukan seorang pemimpin.
Pernyataan dari Arif ini didukung oleh sebuah survey yang bersumber dari data drone emprit yang dirangkum pada tanggal 15-22 Januari 2020 menyatakan bahwa responden tidak percaya terhadap calon dari dinasti politik karena 3 alasan yang pertama akan menghambat kaderisasi kepemimpinan, yang kedua berpotensi terjadinya penyalahgunaan wewenang/kekuasaan dan yang ketiga berdampak pada kesejahteraan masyarakat.