Aku menuliskan ini, kalau-kalau kamu lupa bahwa ada perbincangan-perbincangan ini yang kita lakukan dulu.
Entah berapa puluh atau ratusan kali kita sudah saling berbagi cerita. Kadang di kafe, di toko buku, di rumahmu, atau di jalan raya. Aku menikmati setiap momennya. Kalau kamu? Menikmatinya juga?
Dan di antara banyaknya momen-momen itu, ada bagian-bagian dimana aku tidak bisa lupa. Mungkin seperti sebuah peristiwa penting dunia yang kemudian dibukukan untuk menjadi sejarah agar tidak ada yang lupa. Bedanya, ini bukan sejarah dunia, dan aku tidak membukukannya. Aku hanya menuliskannya.
Sebenarnya tetap bisa disebut sejarah juga, tapi mungkin sejarahku, bukan sejarah penting bagi orang lain, apalagi (mungkin) bagimu. Karena sebenarnya ini hanya mengungkapkan, banyaknya kalimat yang selama ini aku sembunyikan. Ya, kita selalu berbincang. Tapi yang kamu tidak tahu, sering kali aku mengatakan sesuatu, tapi sebenarnya yang ingin kukatakan bukan itu.
Jadi ini, aku mencoba mengingatkanmu dan memberitahumu apa yang dulu sebenarnya ingin kukatakan kepadamu. Semuanya adalah perbincangan kita apa adanya, kecuali yang dicetak miring dan sengaja aku kurung. Itu adalah kalimat yang tidak pernah kusampaikan kepadamu. Alasannya sederhana, kalimat itu memang masih terkurung sampai sekarang, kecuali kamu yang merusak kurungannya dengan membaca tulisan ini. Setelah itu, kalimat itu akan bebas dan terbang seperti burung. Tidak lagi terpenjara dalam kurungan buatan, tapi juga tidak bisa lagi digenggam karena kalimat itu akan langsung terbang begitu kurungnya kamu rusakkan.
Oya, kalaupun kamu membaca ini, aku tidak meminta apa pun. Aku hanya ingin kamu tahu kalimat-kalimat yang kusembunyikan selama ini. Hanya itu. Dan aku sengaja menulisnya acak, karena sebenarnya memori tentangmunya terlalu banyak.
Ini.
1.
“Mungkin kita harus berhenti melakukan ini, bertemu sering kali,” katamu sambil mengaduk jus jambu.
(Jangan! Nanti bagaimana kalau aku rindu?)
“Iya, mungkin kamu benar,” kataku. Semoga kamu tidak mendengar nafas panjangku.
2.
“Aku bahagia ketika melihat hujan. Bisa berlama-lama menyeruput teh melati dan mengunyah beberapa roti. Kalau kamu? Apa bahagiamu?” tanyamu.
(Kamu)
“Tidur,” kataku sambil tertawa. Kamu mencubiti lenganku. Aku menenangkan dadaku.
3.
“Senangnya bisa bertemu dan berbincang lagi denganmu,” katamu sambil tersenyum melihatku.
(Percaya, aku merasakannya berkali lipat dari itu)
“Iya, aku juga,” kataku. Melirik sebentar ke arahmu, lalu kembali membaca menu. Kamu pasti tidak tahu sebanyak apa aku merasakan rindu.
4.
“Aku ingin didoakan oleh seorang laki-laki setiap hari. Untuk bahagiaku, cintaku, dan mimpiku.”
(Ah, kamu tidak tahu. Aku sudah melakukannya sejak dulu. Mendoakanmu dulu jauh sebelum doaku)
“Aamiin. Semoga kamu mendapat lelaki seperti itu.”
Kamu tersenyum, aku tersenyum.
5.
“Berkali-kali cintaku jatuh di tempat yang salah,” katamu.
(Mungkin karena jatuhnya tidak kepadaku)
“Kalau begitu, mulai sekarang kamu harus berhati-hati ketika hatimu jatuh,” kataku.
Kamu menatap luar jendela dan menerawang jauh.
6.
“Cantik, kan?” katamu dengan baju baru ketika kita mau pergi ke toko buku.
(Kamu selalu cantik sekali di mataku)
“Ah, kamu ini. Sudah, ayo berangkat,” kataku. Kamu mengikuti langkahku sambil cemberut.
7.
‘Kalau terus seperti ini, bisa- bisa salah satu dari kita akan jatuh cinta,” katamu sambil tertawa dan menatapku lekat nyaris tanpa jeda.
Aku tidak mengatakan apa-apa ketika itu. Karena aku bergetar. Aku sudah mencintaimu. Lain kali, jangan bercanda seperti itu.
Aku ingin menuliskannya sampai seribu, tapi sebanyak ini saja, aku sudah lelah menenangkan hatiku.
Sudah. Ini saja dulu. Kamu juga mungkin tidak membacanya. Kalau pun membacanya, momen-momen itu, kamu pasti sudah lupa.
______
Diambil dari namarappuccino bersama fiksi, puisi, dan motivasi lainnya.