Mohon tunggu...
Dewina Sugianto
Dewina Sugianto Mohon Tunggu... -

I am the sun. warm, light, burning. I am gold. stand out, precious and always bold. I am a rose. Barbed, hurtful, timelessly beautiful

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terlalu Negatif. (untuk sahabat Gay saya)

22 September 2011   01:18 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:44 490
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

“Eeeww!”Saya masih ingat bagaimana rasa jijik yang mendadak muncul begitu saya mendengar pengakuan seorang selebriti bahwa ia Gay. Sepuluh tahun lalu, tidak… mungkin tujuh, mungkin juga empat tahun lalu saya masih risih mendengar sentilan-sentilan mengenai homoseks. Yang ada di benak saya, Gay identik dengan bencong. Pendosa, kelainan, berpenyakit, bahkan berbahaya, “Hati-hati, dia kan Gay. Kalau dia naksir kamu, nanti kamu bisa dibunuhnya kalau dia sakit hati”. Macam Ryan. “Habis itu kamu dimutilasi”.

Pagi ini saya mengawali hari dengan menikmati brunch berempat; saya, Endreu, bubur ayamnya dan selingkuhan saya, hot chocolate. Tidak ada yang bisa membuat hari saya menjadi lebih baik selain “good conversation” (saya tidak tahu bagaimana menerjemahkannya dengan baik ke dalam bahasa Indonesia agar tak kehilangan makna) dengan sahabat. Sahabat yang loyal, open-minded, penuh ide, pemaaf, dan menerima saya apa adanya. Sahabat gay saya.

Carrie Bradshaw dalam film Sex and The City 2, “Time is a funny thing. In just two years monumental thing can happen; things you couldn’t imagine happening in a million years”.

Saya sepertinya butuh lebih dari dua tahun.

Saya juga masih ingat ketika saya menjadi mahasiswa baru. Bagaimana skeptisnya saya menanggapi demam jilbab dan syariah di kampus saya. Dalam hal seksual saya boleh konservatif, tapi dalam soal agama saya agak liberal. Setidaknya, pada saat itu.

Kampus saya bukan kampus mentereng di tengah Jakarta yang mahasiswinya gemar bergaya modis. Sebagian besar mahasiswinya berjilbab. Bukan jilbab gaul, melainkan jilbab panjang yang sesuai syariah (ceunah); panjangnya menutupi dada, bahkan sampai ke pinggang, kaos kai dan manset selalu dipakai meski bajunya sudah berlengan panjang. Bahkan banyak yang bercadar pula. Pemikiran saya waktu itu, “Ya ampun, ngapain sampai berpakaian kelebihan bahan begitu? Sampai sprei pun dipakai buat nutupin kepala. Padahal kelakuan juga belum tentu bener. Jangan sampe deh gue jadi bagian dari orang-orang itu.”

“Orang-orang itu”

Yang kelakuannya belom tentu benar.

Yang mana belum tentu juga mereka seburuk yang saya kira.

Yang saya bahkan mungkin lebih buruk. Seburuk yang saya tuduhkan sama mereka.

Yang kalaupun ada yang seburuk saya tuduhkan, itu bukan urusan saya.

Eniwei, setelah saya lulus, saya mendapat pekerjaan di perusahaan kelas kakap (untuk bidang saya). Too good to resist! Bahkan sebelum wisuda pun saya sudah menyandang gelar karyawan. Ketika ditanya, “Sudah dapat kerja? Dimana?” dengan penuh percaya diri saya menjawab, “Di PT ANU.” Pakai muka belagu.

Sialnya, meski judulnya perusahaan mentereng, gaji (yang kelihatannya) lebih berkilau daripada yang lain, pekerjaan saya tidak se-eksklusif bayarannya. Pekerjaan ini mengharuskan saya berada di lapangan minimal sepuluh jam sehari. Minimal. Di bawah terik matahari, diantara para karyawan harian yang bahkan tak tamat SMA.

Sebulan dua bulan saya masih kuat bergaya petantang-petenteng dengan tas dan baju-baju keren. Bulan ketiga, saya nyaris teriak ketika menemukan kerutan di bawah mata saya. Plis deh, umur saya belum dua puluh lima! Saya kemudian mulai memperhatikan para rekan kerja. Ada yang umurnya baru masuk dua puluh, tapi kerutan di sudut matanya lebih parah dari ibu saya. Ada yang terpaksa operasi mata karena selama kerja di lapangan tak pernah pakai sunglasses. Yang paling parah, ada yang kena kanker kulit di bagian kakinya. Belakangan saya juga menyadari bahwa tangan dan kaki saya tak cuma gosong, namun juga kusam dan keriput.

Saya berkenalan dengan istilah baru bernama photoaging, yaitu proses penuaan dini yang disebabkan karena terlalu sering terekspos matahari. Yang mana tengah terjadi pada diri saya.

Dua minggu kemudian saya merombak penampilan saya. Tidak ada lagi baju [X] S,M,L yang saya pakai ke lapangan. Tinggalkan Kickers dan jepit rambut lucu-lucu di rumah, beralih ke sepatu bot karet lima puluh ribuan dan… jilbab. Tak cukup, tangan pun saya tutupi dengan sarung tangan warna gelap. Plus kacamata hitam ukuran besar.

Saya resmi jadi bagian dari “orang-orang itu” (dalam versi yang lebih aneh, percayalah).

Pengalaman membuat saya mengerti bahwa saya terlalu sering menanggapi sesuatu dengan negatif. “Orang-orang itu” mungkin bukan mau sok suci, mungkin Allah memang sudah tahu kalau zaman ini dunia akan makin panas dan bahaya radiasi juga termasuk photoaging dan kanker kulit. Mungkin Allah juga tahu kalau sehebat-hebatnya krim SPF 50 Bobbi Brown tidak akan tahan seharian tanpa dioles ulang dan kalau saya sering-sering oles ulang, gaji saya bisa ludes buat krim doang.

Anggaplah saya memelihara aset. Kulit saya, badan saya, mata saya, kesehatan saya, nyawa saya. Semahal-mahalnya baju, diri saya jauh lebih berharga. Begitulah kata mbak Paris Hilton.

Hidup mengajarkan saya untuk melihat segala sesuatu dari sudut positif, dengan prasangka baik. Herannya, di sekeliling saya justru lebih banyak orang yang menanggapi segala sesuatu dengan negatif dan prasangka buruk. Orang lebih senang menanggapi cara penyampaian daripada merenungkan apa yang disampaikan. Pejabat M memberikan pernyataan, dibilang gelar doktornya beli. Pejabat F memberi saran, dibilang diskriminatif. Untungnya saya bukan pejabat karena meski bukan pejabat saja saya dikomentari macam-macam.

Yaah saya tidak bermaksud membela oom-oom dan tante-tante “di atas situ” sih. Ada kalanya mereka juga salah. Maklumlah, namanya juga manusia. Tapi bukan berarti mereka selalu salah juga. Banyak hal yang saya rasa bisa dicerna dengan lebih positif.

Pandangan negatif itu sepertinya juga menular. Lalu menjalar menjadi sugesti. Teman sesama korban patah hati kerap kirim SMS “Naa gue sakiiit”, “Naa nyesek bangeeet”. Teman sepenyakitan malah lebih parah, “Sakit kita ini gak bisa sembuh. Liat gue, udah gak bisa kerja lagi, hidup makin miskin…” wuaduh! Percaya gak percaya lama-lama saya ikutan mikir kalau sakit saya ini sebenarnya belum sembuh dan tidak akan bisa sembuh. Padahal, meski divonis kena penyakit aneh, sejauh ini badan saya tidak apa-apa. Tidak ada yang serius dan saya masih hidup. Karena sugesti negatif, saya menjadi lupa untuk menikmati dan mensyukuri kehidupan saya saat ini.

Status macam “I hate Monday” dan “I need more days off” tiap Senin menjadi contoh yang lebih sederhana.

Sahabat Gay saya adalah orang yang bekerja dengan passion nya. “Kalau orang bilang ‘I hate Monday’, gue bilang ‘I love Monday’”. Orang positifmacam inilah yang saya butuhkan. Oleh karena itu dialah yang saya daulat menemani saya brunch pagi ini.

Sahabat Gay saya mengajarkan saya banyak hal. Yang paling mengena adalah bahwa sebaiknya kita tidak tergantung pada apapun. Tidak pada sesama, tidak juga obat-obatan. Saya tidak bisa menceritakan bagaimana saya berjuang bertahan hidup baik secara fisik, psikologis dan sosial tanpa obat-obatan, justru disaat saya membutuhkannya. Orang-orang cuma tahu saya yang sudah sembuh. Hidup saya mudah, menurut mereka. Alhamdulillah.

Saya sudah mencoba menyampaikan bagaimana kita harus berjuang bertahan hidup (baik sakit maupun tidak sakit) tanpa berpandangan dan menyebarkan sugesti negatif. Hey, no guts no glory, man!Tapi yang saya dapat malah hujan komentar negatif. Seperti yang saya bilang, untung saya bukan pejabat. Bahkan ada yang sampai mengirimi saya pesan panjang lebar, dikatakannya saya ini picik. Pesannya diawali dengan “maksudnya nge-tag gue apa?”

Ebuset.

Saya sih tidak pernah berprasangka buruk sama beliau. Tidak juga bermaksud menyerang siapapun, toh pesan yang saya buat berkonteks general. Ditujukan untuk siapapun, dalam hal apapun. Tapi seandainya pun ada yang merasa, ya maap…

Jadi disinilah saya, menjauhkan pagi dari energi negatif. Menghangatkan diri di atas sofa empuk bersama dua teman setia, hot chocolate dan seorang sahabat. Sahabat yang mengajarkan bahwa segala hal bisa dipelajari, sahabat yang meski setelah “cerai” berbulan-bulan atau bertahun-tahun dengan saya pasti akhirnya rujuk lagi, sahabat yang menyadarkan saya bahwa selama ini saya terlalu mengkotak-kotakkan orang, sahabat yang sudah berusaha setengah mampus mau naksir perempuan lagi tapi nggak bisa-bisa, sahabat yang alhamdulillah sampai saat ini belum memutilasi saya.

Percakapan yang manis selalu berhasil mendatangkan energi positif. Jam kerja memanggil, saatnya kami menjalani sisi kehidupan yang lain. “Talk to you later yaaa” Ia pun menutup telepon.

Eh, sudahkah saya bilang kalau brunch kami terpisah seribu kilometer?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun