Di usianya yang mulai senja, Ibu saya tampak lelah dan kesepian. Sungguh berbeda dengan impian sebagian besar orang yang menginginkan masa tua yang sejahtera, tenang dan damai.
Ibu saya selalu mengawali ceritanya (yang biasanya akan berdurasi dua sampai tiga hari) dengan kisah "salah memilih suami". Ya, Bapak saya adalah kambing hitam terbesar Ibu. Semua awal keterpurukan beliau adalah akibat kesalahan Bapak. Setidaknya, begitulah menurut Ibu.
Saya telah menjadi pendengar setia keluh kesah Ibu semenjak duduk di Sekolah Dasar. Â Bagaimana ia tertipu dengan sosok mahasiswa teladan, tampan, ramah, mandiri dan bergelar Cum Laude. Sepertinya pada zaman Ibu belum menikah dulu, itulah parameter calon suami idaman. Sebagaimana para gadis lain yang mengharapkan hidup makmur dan terhormat hingga akhir hayat, Ibu akhirnya menikah dengan Bapak dengan segudang cita-cita dan impian. Sayangnya, pada akhirnya impian Ibu kandas ke comberan.
Tiga puluh tahun sudah Ibu menikah dengan Bapak. Tujuh belas tahun diantaranya Bapak menganggur dan memaksa Ibu bekerja menafkahi keluarga. Tak ada rasa malu dari diri Bapak kepada kami keluarganya. Terutama kepada Ibu. Manalah Ibu sebelumnya menyangka akan mendapatkan suami macam demikian. Sungguh berbeda dengan citra Bapak sebelum mereka menikah dulu.
Sialnya, saya tidak hanya menjadi penonton. Seringkali saya menjadi bulan-bulanan, sasaran emosi Ibu. Saya tumbuh di lingkungan yang penuh aura negatif. Bapak menganggur dan Ibu yang kerap mencaci maki saya. Tak heran, saya juga tumbuh menjadi orang yang negatif. Lontaran kata-kata kasar seringkali dialamatkan Ibu kepada saya, sehingga belakangan saya tidak bisa membedakan mana hal yang pantas dan yang tidak. Sudah hilang batasan baik dan buruk dalam hidup saya. Seumur hidup saya mendengar Ibu berkeluh kesah, seakan berteriak "Saya! Saya! Saya!". Dampaknya, saya tumbuh dengan pandangan bahwa "Saya" adalah prioritas dalam segala hal. Tak peduli dengan orang lain. Bagaimanapun saya mencoba berempati, alam bawah sadar kembali menarik saya ke zona egosentris.
Dampak "Saya! Saya! Saya!" milik Ibu tidak hanya menyangkut hal kecil. Hal-hal besar di keluarga ini, Ibu lah yang menentukan. Saya dan adik-adik tak pernah belajar mengenai pilihan dan konsekuensi. Kami hanya menjalankan keputusan Ibu. Dibalik jargon "Mother knows the best -Ibu selalu tahu yang terbaik" Ibu saya berlindung. Keputusannya mutlak. Tidak boleh ada yang mengganggu, tidak juga Bapak. Tidak juga yang bersangkutan, siapapun itu.
Pada akhirnya kami anak-anaknya belajar mengenai pilihan dan konsekuensi pada waktu yang agak terlambat. Untuk kasus saya, SANGAT terlambat. Saya memilih menikah, dengan laki-laki yang tidak disukai Ibu. Sungguh menyakitkan kata-kata yang dialamatkan Ibu kepada suami saya. Sebagian benar, sebagian lebay.
Setelah menikah bukan berarti pengaruh Ibu lepas begitu saja. Kekuatan intervensi Ibu kerap kali mengundang badai Katrina dalam rumah tangga kami. Permasalahan yang terakhir membuat saya menangis tiga kali sehari, setiap hari.
Ibu meminta saya kembali ke Jakarta, bekerja menajdi kuli Ibukota. Sialnya, ia mengharuskan saya meninggalkan suami dan anak saya yang saat itu masih berumur dua bulan. Saya dihadapkan pada dilemma. Haruskah saya menuruti (lagi) perintah Ibu saya, menjadi anak yang berbakti dan meninggalkan kewajiban saya sebagai Ibu dan Istri? Atau memilih hidup sederhana bersama suami dan anak saya?
Dalih Ibu, "Kamu disana hidup miskin, serba kekurangan". Ada benarnya.
Suami bilang, "Toh tidak selamanya".
Dalih Ibu, "Kamu disini bisa bekerja. Sudah ada perusahaan yang mau terima kamu. Disana kamu belum dapat pekerjaan". Benar.
Suami bilang, "Kalau mau bekerja, disini juga bisa. Toh saya tidak melarang. Cobalah lamar pekerjaan lagi".
Akhirnya saya mencoba nego dengan Ibu. Minta izin untuk tetap berada di luar Jakarta, toh yang penting saya bekerja. Tanggapan Ibu persis seperti yang saya perkirakan. Cacian, amarah, dan (mungkin) sumpah serapah menghujani lewat telepon genggam saya.