Mohon tunggu...
Dewina Sugianto
Dewina Sugianto Mohon Tunggu... -

I am the sun. warm, light, burning. I am gold. stand out, precious and always bold. I am a rose. Barbed, hurtful, timelessly beautiful

Selanjutnya

Tutup

Puisi

"Kamu! Kamu! Kamu!"

22 September 2011   01:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   01:44 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Saya berharap suami saya menelepon pagi ini. Namun sepertinya dia sudah muak dengan tingkah saya, istrinya yang banyak meminta macam-macam.

Saya juga berharap bisa bertemu putra saya pagi ini, tapi hal itu tidak mungkin. Kami terpisah dua belas jam perjalanan.



Saya ingin pulang. Tapi saya harus pulang kemana? Ke rumah suami di desa kah? Tapi disana juga tak membuat saya seperti ada di rumah. Kami kelaparan, penghasilan suami pas-pasan. Bahkan untuk sekedar memenuhi kebutuhan bayi kami yang berumur tiga bulan.

Waktu berjalan dengan cepat. Hidup berputar dengan cepat. Sebentar lagi putra kami akan butuh biaya pendidikan, butuh baju yang lebih besar, bekas pun tak apa-apa. Namun sedih rasanya bila melihat si buah hati menunggu belas kasihan orang.

Demi memperbaiki ekonomi saya memutuskan berangkat ke Jakarta, mencari penghasilan. Si buah hati saya titipkan ke neneknya. Sesampainya saya di Jakarta, ada kenyataan yang juga harus saya hadapi; adik saya butuh uang sekolah.

Ibu saya sudah tua. Semasa mudanya Ibu membanting tulang siang dan malam demi kami ketiga putrinya. Cita-cita Ibu, anaknya harus sekolah. Tak ada penghasilan suami yang bisa Ibu andalkan. Ibu berjuang sendiri bagi kami agar tidak terus menjadi miskin.

Sekarang usia Ibu sudah mulai senja. Badan sudah tidak sekuat dahulu. Adik saya ingin kuliah dan biaya pendidikan di negeri ini alangkah mahalnya. Ibu juga sering sakit-sakitan. Mungkin sudah letih menghadapi hidup yang kian keras. Masih harus menafkahi anak dan suami.

Namun kepulangan saya agaknya membawa kebahagiaan tersendiri untuk Ibu. Terlihat dari rona wajahnya yang lebih ceria saat saya ada di rumah, kondisi kesehatannya juga membaik. Ibu mendapatkan kembali putri pertamanya yang juga sahabat untuk berbagi.

Jahatkah saya bila saya menyepelekan kondisi Ibu saya? Beliau yang melahirkan dan membesarkan saya dengan seluruh jiwa raganya? Tentu. Maka tak apalah saya mengorbankan perasaan rindu saya pada si kecil demi Ibu saya.

Ibu bilang, anak balita belum akan mengingat apapun dan mengenali apapun secara permanen. Maka biarlah saya menelan sendiri pedih hati saat saya pulang nanti, saya akan menemukan putra saya tak lagi mengenali Ibunya.

Yang penting adik saya mau sekolah,

Ibu saya tidak sakit,

Anak saya bisa minum susu,

Suami saya tak perlu kerja rodi untuk memberi saya makan.

Semuanya untuk Kamu, Kamu, Kamu.

Seperti yang telah dilakukan Ibu untuk Kami, Kami, Kami.

Saya meminta maaf sebesar-besarnya pada suami. Saya minta izin pergi mencari rezeki, sekaleng susu untuk putra saya. Saya minta kerelaannya untuk saya melepaskan kewajiban saya sebagai istrinya. Saya pamit.

Saya tahu suami saya sudah muak dengan saya. Atau mungkin Ia juga pusing dengan “Kamu! Kamu! Kamu!” versinya sendiri. Istri yang setengah gila, dan anak yang perlu diberi makan.

Saya tak tahu apa yang bisa saya lakukan di kota ini, Jakarta. Kenyataan kembali menghempaskan saya ke tanah. Ternyata mencari nafkah tak semudah yang saya duga sebelumnya.

Sebenarnya apa yang saya lakukan disini? Menganggur tidak keruan. Jangankan sekaleng susu, sesuap nasi pun saya minta pada orang. Haruskah saya pulang? Akan tetapi alangkah malunya saya pada suami. Uangnya sudah saya pakai untuk modal merantau dan saya pulang tak membawa apa-apa.

Bagaimana dengan adik saya?

Bila saya pulang ke desa, siapa yang akan membiayai ia sekolah? Bagaimana dengan anak saya? Kemarin suami saya mengeluh, uang susunya mahal sekali. Minumnya pun semakin banyak.

Bagaimana dengan suami saya? Ia kerja rodi pun kami tak akan bertambah kaya. Lebih baik ia istirahatkan badannya, jaga kesehatan, agar tak sakit-sakitan ketika tua. Saya juga sampaikan padanya, carilah perempuan lain jika mau. Saya sadar betul saya bukanlah istri yang baik, dan dia juga punya kebutuhan sebagai laki-laki.

Bagaimana dengan saya? Apa tidak sakit hati? Mungkin iya. Tapi tidak apa-apa. Kalaupun terjadi hal buruk, itu sudah biasa. Sudah pernah terjadi sebelumnya. Biar saya rasakan sakit ini sendirian. Rindu yang menyayat hati akan putra saya, dilemma perihal ibu dan adik saya, rindu akan hangatnya rumah dan keluarga kecil kami. Tidak apa-apa. Saya masih hidup. Saya masih bisa berkata, “Kamu! Kamu! Kamu!”

Pagi ini badan saya menggigil. Sehabis menggelandang selamaman bersama dinginnya malam Jakarta. Jangan tanya apa yang saya lakukan. Saya juga sudah tak ingat apa yang saya kerjakan semalaman.

Pagi ini saya berharap suami saya menelepon.

Tapi nyatanya tidak.

(22 september 2011, entah dimana).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun