Mohon tunggu...
Dewina Sugianto
Dewina Sugianto Mohon Tunggu... -

I am the sun. warm, light, burning. I am gold. stand out, precious and always bold. I am a rose. Barbed, hurtful, timelessly beautiful

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Adopsi. Kita dan Amerika

24 Februari 2012   01:48 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:15 199
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memberikan anak untuk diasuh orang lain. Di negara kita hal itu terdengar begitu asing. Kasus yang mencuat akhir-akhir ini, mengenai usaha penjualan bayi yang digagalkan polres Depok, begitu menyita perhatian publik dan rutin mengisi kolom headline.

Tanggapan masyarakat kita bermacam-macam. ”Tega banget ibunya”, dan ”Kalau nggak mau ngurus anak ya jangan bikin anak!” adalah sebagian dari tanggapan yang saya dengar, hasil ngerumpi dengan sesama ibu-ibu.

Entah bagaimana, semalam saya tak bisa tidur. Kebanyakan kafein nampaknya. Iseng, saya membuka-buka e-magazine yang belum tuntas saya baca. Elle Magazine, US edition. Salah satu artikelnya mencekat tenggorokan saya.

Alkisah di negeri Paman Sam, seorang perempuan bernama Julia merelakan putranya yang baru lahir kepada orang lain, seorang ibu adopsi. Awalnya, Julia adalah seorang pengacara sukses. Ia kemudian menikah dengan pria yang ia cintai. Merasa hidupnya telah sempurna, ia berhenti bekerja untuk mengikuti suami yang bertugas sebagai tentara, dan mendedikasikan dirinya sebagai ibu rumah tangga. Julia mengorbankan karir yang telah ia capai dengan susah payah. Julia sangat menginginkan kehadiran putranya. Saat itu, ia berpikir seperti ibu-ibu lain pada umumnya, menginginkan dan berjanji untuk mengusahakan yang terbaik bagi putranya.

Namun takdir berkata lain. Saat usia kandungan Julia berumur lima bulan, ia mengetahui bahwa suaminya telah berselingkuh selama tiga tahun. Hal itu berujung kepada perceraiannya. Julia sangat terpukul. Tentu saja, seperti yang terjadi pada siapapun, Julia patah hati, ia mengalami stress akut dan berkepanjangan. Kondisi mentalnya benar-benar tidak siap untuk mengurus seorang bayi. Ditambah lagi, ia kini tak punya penghasilan. Mencari kerja ternyata tidaklah mudah di Amerika, terutama bagi mereka yang telah lama absen dari karirnya. Julia sampai harus mengirim ratusan surat lamaran pekerjaan –yang mana sangat kecil kemungkinan sebuah perusahaan mau menerima wanita hamil.

Melihat kondisi putrinya seperti itu, Ibu Julia menyarankan putrinya untuk aborsi. Namun Julia tetap ingat bagaimana ia begitu menginginkan bayi itu sehingga ia menolak. Maka Julia melakukan hal yang lumrah dilakukan di negaranya; memberikan bayinya untuk diadopsi.

Yang membuat saya cukup terkejut adalah, angka statistik menunjukkan bahwa di Amerika, setiap tahunya ada 15.000 perempuan yang memberikan bayinya untuk diadopsi orang lain. Hal ini malah terbilang kecil jika dibandingkan jumlah adopsi secara general yang mencapai 135.000 kasus per tahun. Dan hal ini sepertinya lumrah bagi warga Amerika, karena bedasarkan keterangan dari dinas sosial, sebagian besar wanita tersebut tidak merasa menyesal atas keputusannya. Mereka akan segera melupakan apa yang telah terjadi dan hanya mengingatnya sebagai ”sakit perut selama sembilan bulan”. Hal ini juga dibernarkan oleh Ibu Amerika saya. Ia mengatakan ”saya juga terkejut ketika mengetahui 40% bayi di negara ini lahir dari seorang single parent. Di zaman saya dahulu, kami bahkan tabu untuk berbicara mengenai sex!”

Sepertinya proses adopsi merupakan hal mudah dan lumrah di banyak negara. Ingatkah pada Quinn Fabray dari serial Glee yang dengan mudah mengatakan bahwa ia tidak menginginkan bayinya dan kemudian bayi itu diberikannya kepada orang lain? Begitu juga dalam serial korea yang tengah ditayangkan di televisi, Thorn Birds.

Saya tidak dapat menghakimi apa yang terjadi pada Julia, maupun Ibu dari Ujang dan Asep. Keduanya memiliki kesamaan; ditinggal suami pada saat mereka hamil, dan kini mereka harus mencari penghasilan untuk hidup. Belum lagi siksaan batin yang mereka alami karena sakit hati. Hal ini mungkin disepelekan oleh banyak orang, namun sebagai anak yang dibesarkan oleh Ibu kandung yang bermental tidak stabil, saya merasa hal itu adalah masalah. Apa yang saya alami selama dua puluh tahun –tidak bisa saya ceritakan- cukup untuk membuat saya meyakinkan anda bahwa hal tersebut sangat tidak sehat bagi perkembangan mental anak.

Julia mengatakan, jika seandainya ia memilih untuk tetap membesarkan anaknya sendiri, maka anak itu hanya akan berakhir di tempat penitipan anak sementara ia bekerja sepanjang hari. Anak itu akan kekurangan perhatian dan kasih sayang. Namun jika ia tidak bekerja, bagaimana mereka bisa hidup?

Hal itu semakin menyesakkan dada saya. Membawa memori kepada seorang gadis kecil bernama Menik. Usianya baru lima bulan, sekitar tiga minggu yang lalu ayahnya meninggal karena kecelakaan motor sepulang kerja. Ayah Menik adalah orang yang baik. Ia kerap kali mengorbankan dirinya untuk kepentingan orang lain, kematiannya ditangisi setiap koleganya –salah satunya adalah suami saya. Bahkan para petinggi perusahaan menangis seperti anak kecil, melihat pria baik ini meninggal dengan tragis.

Sekarang, bagaimana si kecil Menik dan ibunya dapat hidup? Uang santunan akan segera habis, dan Ibu Menik hanyalah perempuan kampung sederhana. Hanya tamat SMP. Sulit baginya untuk mencari pekerjaan layak untuk menghidupi ia bersama putrinya.

Kisah saya agak mirip dengan Julia. Meninggalkan karir dan penghasilan yang cukup demi kehamilan saya. Awalnya tak begitu masalah, namun seiring dengan menipisnya tabungan, hidup semakin terasa kekurangan. Akan tetapi meski hidup tak semewah dulu, saya merasa patut bersyukur. Saya tak perlu memberikan putra saya kepada siapa-siapa. Dan setiap kali saya teringat pada gadis kecil dari desa Wadeng bernama Menik, saya mengucap permohonan yang sama. Tuhan, berikanlah saya kemampuan untuk membantu ibu dan anak tersebut. Amiin.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun