Elang paruh putih menukik tajam. Dari kejauhan ia meluncur jalang. Sekali sambar, seekor ikan sudah berada di paruhnya. Ikan yang malang.
Elang paruh putih bermata saga. Manatap tajam ke semua penjuru. Melihat di mana ikan menunggu. Dan, sekejap ia terbang ke angkasa, mengambil tenaga dari surya, lalu turun ke bawah secepat cahaya. Seekor ikan di paruhnya. Ikan yang malang.
Elang-elang itu tidak peduli, bahwa ikan butuh waktu untuk tumbuh dan berdikari. Ia merasa ikan memang lahir dalam bentuknya sekarang, ia merasa ikan-ikan memang siap dimangsa. Ikan-ikan itu memang miliknya saja. Hidangan siang untuknya, istrinya, suaminya, anaknya, keluarganya. Ikan-ikan itu adalah mangsa.
Elang itu merasa kuasa. Memakan ikan kapan saja ia mau. Ia memilih mana yang menurutnya segar, mana yang ia pikir mengenyangkan, menguntungkan, melegakan. Elang itu memang nakal, merasa ikan-ikan adalah rizki dari Tuhan yang memang khusus diberikan kepadanya.
Ikan-ikan tak berdaya. Dalam upaya mencari makan secuil roti yang terbuang dipermukaan air, ia disambar elang besar. Ia melawan tak berdaya. Merintih kembali ke asal semula. Berteriak pada siapa? Cakaran tajam elang putih menusuk kulit-kulitnya. Ia tak berdaya. Berdoa agar tuhan memaafkan salahnya. Lalu ia siap meninggalkan dunia.
Elang paruh putih bermata saga, ia melihat di mana ada mangsa, mendekat, menangkap, memakan dengan lahap. Elang paruh putih tidak peduli, sebuah mangsa adalah sebuah budaya, yang hidup dan berkait dengan kehidupan yang lain. Seekor induk ayam mati, sepuulluh anaknya menderita. Seekor bebek dimangsa, sebelas anaknya tercerai berai. Tapi elang paruh putih tidak peduli, sebab ayam dan bebek adalah mangsanya.
Elang paruh putih berkuasa, pada setiap sesuatu yang ia anggap mangsanya. Siapa mengalahkannya? Usia. Hanya usia. Doa-doa ikan, ayam, bebek, takkan mampu menghentikannya.
.
.
.
------------ Baca Edisi Lengkap ------------