8 Tahun yang lalu, kita pasti pernah merasakan suatu kondisi yang disebut "laper mager", dimana kita sedang di rumah, dalam kondisi lapar, tidak ada makanan, dan malas untuk keluar.
Kondisi ini nyata dan pasti terjadi oleh setiap orang. Gue pun juga merasakan hal yang sama. Saat itu, gue sedang merasa banyak uang setelah nggak jajan di sekolah. Bangganya bukan main. Saat itu yang gue pikirkan adalah gimana caranya gue gak makan makanan rumah---karena memang tidak ada---tanpa masak mie instan. Mungkin gue lebih ingin makan makanan amerika dan jepang yang cepat saji saat itu.
Cuman masalahnya satu: gue malas untuk keluar rumah. Udah di luar cuacanya panas, hari ini akhir pekan, dan gue harus berjalan sekitar 500 meter sampai satu kilometer---bahkan lebih---untuk mendapat makanan---terutama yang gue inginkan.
Dari situ gue akhirnya menahan lapar yang sudah merajalela ini, menunggu orangtua memasak makanan untuk sore hari. Gue pun akhirnya bisa menghemat uang yang sudah gue sisihkan, untuk kebutuhan lain.
8 tahun setelah itu, gue menjadi mahasiswa rantau. Teknologi sudah berkembang pesat, era digital mulai masuk dan kondisi "laper mager" ini lama-lama mulai hilang.
Ya, karena GO-FOOD. Iya gak, sih?
Coba bayangkan kondisi yang sama. Gue---atau kalian---sedang di kamar kos dan hari ini libur. Tiba-tiba jam 12 saat waktunya makan siang, gue lapar. Jelas naluri liar gue akan mencoba mencari makanan, kan? Kondisinya sekarang, rumah kos gue letaknya di daerah perumahan---yang jauh dari tempat makan, gue nggak punya kendaraan dan gue terjangkit "laper mager" tadi.
Respon tercepat gue saat itu ya membuka aplikasi GO-FOOD. Cari restoran atau jenis makanan apa yang lagi gue pengen, lalu pencet tombol "order." Kelar. Enggak sampai satu jam, makanannya tiba di depan gue.
Gimana "laper mager" gak hilang kalau begini terus?
Tapi keberadaan GO-FOOD ini ya memprihatinkan buat mahasiswa. Karena terkadang kondisi "laper mager" ini sering kambuh, dan alhasil kita memesan makanan di GO-FOOD lagi tanpa pikir panjang. Akhirnya kita mengeluarkan uang lagi. Lagi, lagi dan lagi. Akhirnya hal ini dihindari beberapa mahasiswa.
Meskipun begitu, gue rasa ini jadi tantangan untuk mahasiswa sendiri. Apa bisa mahasiswa mengatur keuangannya? Apa bisa mahasiswa mengatur nafsu makannya? Karena jika dipikir ulang, keberadaan GO-FOOD ini---dan GO-JEK secara keseluruhan---sudah membenahi satu budaya kecil namun besar di Indonesia.
Berawal dari "laper mager" tadi.
Tanpa GO-FOOD, mahasiswa dan rakyat Indonesia pasti sudah susah jika harus mencari makanan. Tanpa GO-FOOD, para pengendara GO-JEK pasti kesulitan mencari nafkah. Tanpa GO-FOOD juga, restoran---dan yang pastinya UMKM bangsa ini---pasti kesulitan mencari pelanggan---meskipun makanannya sangat enak. GO-FOOD sudah berhasil mengubah sistem perekonomian Indonesia.
Intinya, tanpa GO-FOOD, coba simpulkan sendiri. Gue mau pesan makanan dulu.
(ngi)