Oleh Na Lesmana
COBA nyalakan televisi anda setidaknya mulai pukul 19.00, periksa program-program yang ada di semua channel TV Indonesia. Saya berani mengatakan kepada anda bahwa sebagian besar program yang ada pada pukul 19.00, dan sampai pukul 23.00 kalau anda mau periksa lebih jauh, adalah program yang menyuguhkan cerita. Cerita nyata maupun fiksi. Dalam bentuk sinetron, FTV, reality show, talkshow maupun komedi. Kalau anda sudah pernah melakukan hal itu, anda akan lebih mudah membaca tulisan saya ini. Tapi kalau belum, saya sarankan untuk menyimpan dahulu tulisan ini sampai anda melakukannya.
CERITA DAN TELEVISI
BARANGKALI pada awalnya sebuah cerita dibuat untuk menjadi hiburan di tengah polemik kehidupan yang semakin runyam, tapi secara realistis ia berbuat lebih banyak daripada sekadar menggelitik kita. Cerita memberikan kepada kita sebuah dunia baru, tempat jiwa kita ditarik lebih kencang ke berbagai arah.
Setelah bertemu dengan sebuah cerita, bisa jadi kita mengalami sebuah perubahan cara pandang untuk kemudian merasakan perubahan lainnya. Hal itu sistemik, tapi sayangnya kita lebih sering tidak mempunyai kekuatan untuk masuk ke dalam sistem guna memilih hanya perubahan-perubahan yang orientasinya positif. Bahkan, kita pun hampir tidak mempunyai kuasa penuh untuk menentukan cerita mana yang akan kita temui, salahsatunya di televisi kita sendiri.
Televisi merupakan media paling representatif bagi sebuah cerita. Cerita yang masuk ke dalam televisi adalah cerita yang lengkap. Kita bisa melihat siapa orang yang berada di dalamnya, mendengar perkataannya dan apapun, kecuali menyentuhnya. Karena itu, kita menerima efek darinya lebih banyak ketimbang yang diberikan oleh cerita di media teks dan audio.
ANGIN CERITA DI TELEVISI
KE arah mana cerita di televisi membawa kita?
Pertanyaan di atas akan menimbulkan jawaban yang subyektif. Maksud saya, tergantung siapa yang menjawab. Kalau yang menjawab adalah pemilik stasiun televisi yang materialistik, ia akan menjawab bahwa cerita-cerita itu akan membawa kita seperti seorang tukang sihir ke tempat-tempat yang menyediakan suasana sentimentil. Hal itu membuat kita terus-menerus menyimak cerita sehingga tidak segan melihat juga berbagai macam iklan komersil yang memberi chip konsumerisme ke kepala kita. Itu hujan emas bagi stasiun televisi, tapi penjara penuh jampi-jampi bagi kita—pemirsa yang malang.
Jawaban yang berbeda tentu saja bisa kita dengar dari beberapa kalangan lagi, misalnya saja artis,para orangtua, guru dan yang lainnya. Tapi, kita perlu sama-sama membahas jawaban apa yang layak kita sepakati atas pertanyaan itu. Pertama-tama, mari kita lupakan keseluruhan identitas sosial kita, kecuali pribadi yang menilai sesuatu secara jernih.
Anda boleh menyiapkan jawaban anda, sambil terus membaca tulisan ini yang merupakan usulan saya untuk kita.
Rupiah-Mutlak. Sebuah cerita yang dibuat, lalu dipublikasikan lewat televisi, dari awal pembuatan sampai selesai hanya berorientasi rupiah. Cerita yang seperti ini akan lepas dari kodratnya, ia lahir sebagai cerita yang cacat karena tidak ada yang ia sampaikan sebagai sebuah cerita. Seberapa pun lama durasinya. Dalam wajah sinetron misalnya, apa yang kita dapatkan kecuali kesedihan dan kebahagiaan yang berulang tanpa makna? Tidak ada. Dengan kata lain, hanya permainan emosi saja, sehingga pemirsa terbawa dan berdiam di depan televisi. Cerita yang mempunyai takdir semacam ini, pada akhirnya layak kita sebut sebagai ide marketing wajah baru—membawa kita masuk lebih jauh ke arah kapitalisasi dan konsumerisme.
Propaganda. Agak menyakitkan bagi saya untuk membahas hal yang satu ini. Sepenuh hati saya tidak rela atau, setidaknya, menyayangkan sebuah cerita yang ada di televisi dibuat sebagai satu rangkaian pembantu dari rangkaian besar bernama propaganda-ideologis. Maksud saya, sebuah cerita dibangun untuk menggiring opini penonton ke arah yang sama dengan visi si pembuat cerita. Hal ini tentu mengutuk penonton menjadi robot yang patuh, setelah kepala mereka dibongkar dan diisi oleh otak milik orang lain. Gejala seperti ini bisa kita lihat pada beberapa serial televisi yang mengusung tema keagamaan. Saya tidak mau berpikir negatif, tapi sesuatu yang nampak di televisi saya membuat saya menyimpulkan bahwa cerita tersebut bukan dibuat untuk mengajarkan nilai dari ‘satu agama’ yang diusung, tapi justeru menghancurkan wajahnya di depan khayalak. Kalau pendapat saya benar, kita tentu tahu siapa yang berada di balik cerita yang bernasib malang itu.
PLUR. Orientasi semacam ini, pada jaman yang menyuguhkan modernisme dan globalisasi, kalah dalam jumlah dibanding orientasi lain yang sudah saya sebutkan di atas. Alasannya tidak lain karena pluralitas cenderung tidak menguntungkan secara finansial dan pemikiran yang dianut secara fanatik, walaupun sebenarnya kalau kita berbicara tentang keuntungan secara kolektif: orientasi ini begitu mulia.
OTORITAS PENONTON
KITA, sebagai penonton yang walau sering tidak bisa masuk ke dalam penentuan orientasi cerita di televisi, sebenarnya mempunyai otoritas yang penuh untuk menentukan apa yang layak kita saksikan untuk kemudian berpengaruh bagi kehidupan kita.
Tradisi yang ada di media televisi adalah tradisi rating. Kita yang berpendapat dan menggunakan otoritas tersebut di atas mampu menghentikan jalan sebuah cerita yang tidak memberikan apa-apa dengan tidak menyaksikannya. Tentu hal ini hanya akan bisa terlaksana jika diperhatikan oleh penonton Indonesia secara kolektif. Kalau kita tidak menyaksikan sedang yang lain menyaksikan: mengutip istilah sunda, ini hitut bau.
Akhirnya, kita memerlukan sebuah kesadaran yang jernih mengenai cerita-cerita yang ada di televisi untuk menentukan nasib kita sendiri. Penonton yang malang adalah penonton yang terbius oleh candu cerita kosong yang sebenarnya memberi lebih banyak hal buruk lewat cerita itu sendiri. Penonton yang baik adalah penonton yang kritis, menonton program yang visinya kolektif dan meninggalkan program yang cacat. Kita membeli televisi kita sendiri, tidak lain untuk menyaksikan sesuatu yang bermanfaat dan mampu memberi makna pada waktu dan kehidupan kita sebagai homo socius.
Apa usulan anda mengenai ini? Tabik!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H