Sekitar awal tahun 2000-an, saya tertarik dengan lagu Naif yang berjudul "Mobil Balap". Lagunya kocak dan isinya tentang mobil balap yang digunakan di jalan umum karena ada syair yang mengatakan bahwa ada polisi yang menilang mobil si "aku" .Masa' ada polisi di lintasan balap.
Hobi ngebut sepertinya sudah mendarah daging di sebagian orang Indonesia, tua-muda, miskin-kaya, dengan berbagai jenis kendaraan pula, motor-mobil atau pribadi-angkutan umum. Kalau bemo atau bajaj warna merah bisa diajak ngebut, daftar ini akan bertambah panjang pula. Lihatlah di jalan-jalan, seakan tidak ada orang lain di jalan itu dan orang-orang yang ngebut ini tanpa tahu diri mengencangkan lajunya.
Saya tidak tahu apa yang ada di benak para tukang ngebut itu. Saya coba menebak, mungkin kebelet pipis, mau BAB, telat masuk kerja, keluarganya ada yang sakit, atau memang ada acara penting...ah..tidak taulah. Anehnya, jika mereka mengalami celaka karena perilaku ngebutnya, tak jarang menyalahkan pihak lain, tanpa mikir kelakukan ngebutnya itu bermasalah. Yang juga saya sering saksikan adalah kelakukan para tukang ngebut itu mengundang sumpah serapah orang-orang di sekitar mereka. Koleksi kebun binatang sudah lazim keluar, bahkan yang paling parah adalah nyumpahin kecelakaan atau meninggal sekalian. Urusan musibah memang di tangan Tuhan, tetapi jika orang-orang itu sudah merasa terzolimi dengan kelakukan para tukang ngebut, jangan-jangan Tuhan pun simpati kepada mereka yang terganggu dengan kelakuan tukang ngebut itu.
Hasil akhir yang tidak mengenakkan bagi tukang ngebut -- tentu saja tidak hanya mereka -- adalah peristiwa kecelakaan yang menimbulkan korban baik dari si tukang kebut maupun orang lain. Parahnya, kalau ujungnya adalah kematian bagi yang ditabarak oleh si tukang kebut. Lihatlah akhir-akhir ini, gara-gara ngebut plus pengaruh kantuk, ego, bahkan narkoba nyawa orang melayang sia-sia. Musibah di patung tani beberapa waktu lalu menjadi bukti bahwa ngebut plus narkoba berujung pada tewasnya nyawa banyak orang. Semua itu dilanjutkan dengan tabrakan-tabrakan lainnya karena ngebut. Selain di patung tani, yang menarik perhatian masyarakat tentunya adalah tabrakan yang melibatkan seorang model, anak pejabat, dan si pengebut di Cipularang.
Sanksi hukum tentu menanti si tukang kebut jika karena kelakuannya mengakibatkan nyawa orang hilang atau luka-luka. Namun, ah rasanya apa benar itu berlaku untuk yang berwajah cantik dan anak pejabat. Lihatlah sang foto model, mungkin karena cantik plus kehebohan foto pakaian dalamnya, beritanya menguap begitu saja. Anehnya, dia mengaku ada gangguan mental pun, tidak ada kehebohan di masyarakat. Tentu saja yang beruntung adalah si anak pejabat. Kelakuan ngebutnya yang menewaskan orang tak membuat hukum tajam pada dirinya. Seakan kekuatan hukum sangat tumpul dan diam seribu bahasa, tanpa daya dan upaya.
Sudah saatnya perilaku ngebut harus diminimalisasi di jalanan jika memang tidak bisa dihilangkan sama sekali dari benak sebagian besar orang. Penegak hukum dan pihak-pihak yang mengatur lalu lintas sudah bertindak benar dengan membuat rambu-rambu dan petunjuk-petunjuk yang jika semua itu diikuti bisa membuat nyaman pengguna jalan. Selain itu, saya rasa produsen juga harus bertanggung jawab terhadap hal ini. Selama ini, mereka sering kampanye safety riding. Namun, ada yang luput dari perhatian mereka. Ini memang usul konyol, tapi bisa jadi inilah awal mula perilaku ngebut dari faktor eksternal. Andaikan semua mobil/motor yang diproduksi di Indonesia berkecepatan maksimum 60 km/jam...niscaya hidup kita nyaman..hehehe...Sudahlah, perilaku ngebut sama sekali jangan lagi dipertontonkan di bumi Indonesia, kecuali di arena balap resmi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H