Rencana pemerintah untuk mengintegrasikan pelajaran IPA dan IPS di tingkat SD ke dalam pelajaran bahasa Indonesia, PPKn, dan matematika dan menghapus pelajaran bahasa Inggris merupakan bentuk paradigma yang hanya memandang kurikulum sebatas kuantitas, bukan kualitas. Ketika ada masalah dalam pendidikan, yang dilihat hanya jumlah mata pelajaran. Bukan kali ini saja pemerintah memandang kuantitas sebagai kambing hitam. Ketika transformasi Ebtanas ke UN, pemerintah hanya menyederhanakan pelajaran yang diujikan menjadi tiga pelajaran. Beberapa tahun kemudian ditambah satu pelajaran lagi di tingkat SMP dan SMA. Semua hanya seputar menambah dan mengurangi jumlah pelajaran.
Idealnya, pemerintah tidak lagi memandang masalah pendidikan hanya seputar kuantitas, tetapi lebih menggenjot lagi dalam hal pengembangan kualitas baik guru maupun isi materinya. Pengembangan kualitas guru dilakukan dengan pengembangan kualitas pedagogis, penguasaan akademik, & penguasaan pemanfaatan IT. Pengembangan tiga hal itu bisa dilakukan dengan menggandeng kampus-kampus PTN maupun swasta terutama dengan cara memberikan pelatihan rutin plus pendampungan kepada guru-guru di sekolah. Untuk pengembangan kualitas mengajar, bisa menggandeng kampus2 ex-IKIP, sedangkan pengembangan penguasaan akademik atau materi bisa menggandeng kampus, lembaga penelitian, atau lembaga yg terkait dengan bidang studi masing-masing. Kampus-kampus jangan hanya berdiri di menara gading, seakan menguasai teori-teori pendidikan & keilmuan, tapi hanya mau mendidik guru-guru sekolah sebatas proyek. Pengembangan kualitas guru melalui sertifikasi oleh pemerintah selama ini sebatas seputar tetek-bengek administrasi tanpa ada pendampingan rutin guru di sekolah pascapelatihan. Utk penguasaan IT, saya kadang miris jika ikut pelatihan online guru bidang studi. Banyak guru yang pengetahan dasar komputernya saja masih rendah sehingga utk menekan tombol ini-itu saja masih belum paham.
Pengembangan materi juga perlu dilakukan agar materi yang menjadi tersangka seperti IPA, IPS, dan bahasa Inggris dibuat seaplikatif mungkin sehingga siswa tidak menganggap ketiga materi itu sebatas sekumpulan teori, rumus, & hapalan-hapalan yg tidak berpengaruh terhadap hidup mereka. Kalau alasannya karena kurang soft skill, kenapa tidak soft skillnya saja yg diintegrasikan ke tiga materi tersebut. Konyol sekali ketika nanti guru bahasa harus menjelaskan materi IPA, spt cth Wamen. Bisa jadi, guru dan siswa sama-sama bingung. Padahal, pemerintah telah mengembangkan kurikulum berkarakter bangsa yang bahkan harus dicantumkan secara tertulis di RPP & silabus guru-guru. Bukankah penanaman karakter bangsa itu bagian dari soft skill? Bisa jadi hal itu kurang maksimal karena lagi-lagi kurikulum yang ada didominasi penjelasan teoretis. Jika materi pelajaran dikembangkan secara aplikatif, masalah soft skill bisa teratasi di situ. Lalu kalo soal alasan tawuran, coba cek apakah juara2 olimpiade, OSN (olimpiade sains nasional), atau kompetisi2 IPA, IPS, & bhs Inggris adalah tukang tawuran?
Selain kualitas, untuk pengembangan sof skill, tentu harus didukung lingkungan yg terintegrasi & komprehensif. Kalo selama ini siswa dicecoki jargon "pengembangan karakter bangsa", tapi di satu sisi siswa disuguhi pungutan-pungutan di skolah, buku-buku pelajaran terserempet materi pornografi yg lagi heboh-hebohnya beberapa waktu lalu, atau berita-berita korupsi, terutama di dunia pendidikan, jargon tersebut hanya omong kosong.
Carut-marut dunia pendidikan selama ini bisa jadi sebuah kewajaran karena kebanyakan para menterinya bukan berlatang belakang ilmu pendidikan atau pernah jadi guru sekolah. Dari dulu, di kementerian lain, sebagian besar pejabatanya dipimpin orang-orang berlatar belakang pendidikan atau profesi yang linier, tapi tidak untuk Depdikbud. Menteri-menterinya kebanyakan bukan berlatar belakang ilmu pendidikan atau pernah menjadi pendidik di sekolah. Harus diakui dan dihormati, mereka memang orang-orang hebat di bidangnya. Tak perlu kita ragukan itu. Namun, bidang pendidikan membutuhkan sentuhan-sentuhan khas yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang pernah terjun ke dalamnya karena di sinilah masa depan bangsa dipertaruhkan. Jika merunut ke beberapa tahun terakhir, mungkin hanya Pak Malik Fajar yang berlatar belakang keguruan dan pernah menjadi guru. Padahal mayoritas peserta didik negeri ini ada di fase dikdasmen (pendidikan dasar & menengah) alias SD, SMP, & SMA. Bahkan konyolnya, jabatan Dirjen Dikdasmen jarang sekali diisi orang-orang berlatar belakang ilmu pendidikan. Kalau kita lihat sekarang ini, Pak Menteri & Pak Wamen keduanya pernah jadi rektor sehingga dianggap mampu mengurus anak-anak sekolah. Dengan demikian, harap maklum, akibat ketidakcocokan latar belakang ini adalah akhirnya kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kebutuhan mayoritas peserta didik negeri ini. Kalau sudah begini, mau dibawa ke mana dunia pendidikan kita? wallahu'alam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI