Mohon tunggu...
Nala
Nala Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pelajar

Suka menulis dan membaca.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Normalisasi Kekerasan Seksual Tak Berujung

9 Januari 2025   18:55 Diperbarui: 9 Januari 2025   18:55 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tidak sedikit korban kekerasan seksual yang dipaksa bungkam. Korban kekerasan seksual yang seharusnya diberikan keadilan justru mendapatkan penolakan berkali-kali atas memperjuangkan keadilan untuk perilaku keji dari pelaku kekerasan seksual terhadap mereka. Sering kali kekerasan seksual berawal dari hal-hal yang dianggap kecil. Hal tersebut seperti catcalling, pelecehan verbal, dan komentar negatif atas korban. Semua itu tidak dibenarkan, tidak ada seorang pun yang boleh memberikan komentar negatif atas seorang individu terkait fisik mereka.


Ya walaupun awalnya hanya bercanda namun tetap saja hal itu tidak diperbolehkan. Perilaku tersebut ditakutkan akan terus berlanjut hingga membuka cela terjadinya kekerasan seksual. Selain itu, mirisnya di era sekarang, sering kali pelaku kekerasan seksual datang dari orang-orang terdekat yang seharusnya memberikan rasa aman dan nyaman terhadap korban namun justru sebaliknya. Tidak menutup kemungkinan, pelaku kekerasan seksual datang dari orang yang berkuasa dan beruang sehingga korban dan keluarga korban dipaksa untuk bungkam serta tidak memberikan perlawanan. Sungguh jika hal itu terus dianggap hal kecil maka kekerasan seksual tidak akan pernah bisa diminimalisir atau dicegah. Kekerasan seksual akan dianggap menjadi hal yang normal dan pantas diterima oleh korban jika tidak ada tindak lanjut sangsi yang kuat menjerat para pelaku kekerasan seksual.


Berdasarkan data dari laman Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak banyak sekali data yang mendukung terkait kasus kekerasan seksual untuk segera diberikan perhatian khusus atau adanya peraturan yang menjerat kuat pelaku kekerasan seksual agar adanya efek jera atau berpikir sebelum melakukan kekerasan seksual terhadap seorang individu. Pada tahun 2024, terdapat 27.278 kasus kekerasan seksual meliputi 23.687 korban perempuan dan 5.910 korban pria. Walaupun jumlah kasus kekerasan seksual ini mengalami penurunan pada tahun sebelumnya dengan selisih 2.605 kasus lebih rendah namun tetap saja jumlah korban berdasarkan jenis kelamin tetap perempuan berada pada urutan pertama dengan kasus kekerasan seksual tertinggi. Selain itu adapun wilayah yang paling banyak mengalami kekerasan seksual pada tahun ini ialah Jawa Barat dengan jumlah kasus 2.819, disusul dengan Jawa Timur dengan jumlah kasus 2.534 dan Jawa Tengah dengan jumlah kasus 2.299 dari 38 provinsi di Indonesia.


Terdapat 13.156 kasus kekerasan seksual yang dialami korban, dari kasus tersebut ditemukan adanya 5.468 pelaku dari pacar/teman, 3.620 pelaku dari lainnya, dan 3.353 pelaku dari orang tua. Klasifikasi pelaku berdasarkan hubungan tersebut ternyata jika kita tarik menjadi dua jenis kelamin terdapat 19.610 pelaku laki-laki dan 2.637 pelaku perempuan sebagai pelaku kekerasan seksual. Adapun jumlah korban jika berdasarkan rentang usia meliputi 11.324 korban dari rentang usia 13-17 tahun, 7.048 korban dari rentang usia 25-44 tahun, dan 6.637 korban dari rentang usia 6-12 tahun. Selain itu jika diklasifikasikan berdasarkan pendidikannya maka memiliki tingkatan yaitu 9.612 korban dari SLTA, 7.597 korban dari SLTP, dan 6.915 korban dari SD. Sementara itu adanya pemanfaatan jenis pelayanan yang diberikan untuk korban ialah pengaduan dengan jumlah pengguna 24.658 korban, kesehatan 11. 666 korban, dan bantuan hukum 6.962 korban. Mirisnya hanya ada 3.130 korban yang mendapatkan hak layanan penegakan hukum untuk kasus kekerasan pada mereka termasuk kekerasan seksual tersebut. Hal ini menunjukkan adanya kelemahan dari hukum yang berlaku untuk menjerat para pelaku kekerasan seksual terhadap korban.


Ada banyak sekali faktor yang menyebabkan terjadinya kekerasan seksual namun pada kesempatan kali ini akan dibahas faktor yang paling sering dikaitkan jika terjadi kekerasan seksual, yaitu:
Ketidaksetaraan gender, meskipun di era sekarang kesetaraan gender masih terus diusahakan untuk diakui namun pada praktik lapangannya kesetaraan gender tidak bisa dijalankan sepenuhnya. Masih banyak laki-laki di luar sana yang akan tetap mencari cela untuk memandang perempuan dari segi rendah. Hal itu menyebabkan ketidaksetaraan gender akan tetap terus ada walaupun dunia berkembang modern.
Menyalahkan pakaian korban, adanya salah konsep dalam memaknai penggunaan pakaian korban kasus kekerasan seksual. Pada dasarnya tidak sedikit korban kasus kekerasan seksual dari perempuan yang mengenakan pakaian tertutup dan menjaga pandangannya. Namun pada dasarnya pelaku kekerasan seksual bisa membaca cela waktu untuk mereka melakukan kekerasan seksual pada korban yang dia kehendaki.
Diam saat mengalami kekerasan seksual dan lemahnya perlindungan hukum bagi korban, dua hal ini sangat berkaitan erat. Mengapa demikian? Hal itu disebabkan karena jika adanya perlindungan hukum yang lemah bagi korban kekerasan seksual maka akan sangat memungkinkan korban kekerasan seksual akan diam saja ketika mendapatkan perilaku keji tersebut. Mereka akan diliputi perasaan cemas dan khawatir jika mereka bersuara maka akan banyak sekali pihak atau backingan pelaku kekerasan seksual yang siap membuat kondisi hidup mereka lebih parah. Selain itu, adanya sikap mengintimidasi dari pelaku dan keluarga korban serta oknum layanan perlindungan sehingga membuat niat korban untuk melapor menjadi ciut dan memilih bungkam untuk ketenangan hidup mereka.


Pelaku kekerasan seksual memiliki berbagai cara untuk menyalurkan niatnya sehingga terdapat banyak motif dari kasus kekerasan seksual yang terjadi di Indonesia. Berikut adalah cara kekerasan seksual terjadi, yaitu:
Kekerasan seksual secara verbal atau nonfisik, dua cara itu biasanya akan berawal dari candaan negatif terkait fisik seseorang yang dilakukan oleh pelaku terhadap korban. Pelaku akan melontarkan berbagai kalimat komentar negatif atau kalimat tidak pantas terhadap korban. Biasanya hal seperti ini akan bermula dari catcalling yang terjadi di jalan-jalan sepi dan rawan serta di jalan raya yang terdapat preman atau orang-orang yang memiliki pemikiran kotor. Ada juga kekerasan seksual secara fisik, hal ini berarti pelaku menyalurkan niatnya kepada korban secara langsung tanpa adanya candaan. Kadang kala pelaku kekerasan seksual secara fisik akan memaksa korban untuk menuruti hawa nafsunya yang tidak bisa dijaganya. Biasanya ini juga bermula dari catcalling dan ketika korban hendak melawan maka ada kemungkinan kekerasan seksual secara fisik akan terjadi serta dilakukan beramai-ramai oleh pelaku yang tidak memiliki hati nurani dengan merusak jiwa dan fisik korban. Selain itu adanya kekerasan seksual yang dilakukan di sosial media, kekerasan seksual ini biasanya dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak memiliki etika dalam mengetik perkataan di sosial media. Biasanya sasaran korban dari kekerasan seksual di sosial media akan datang kepada siapa saja tanpa terkecuali. Korban kekerasan seksual di sosial media juga tidak memandang dari mana orang itu berasal karena biasanya kekerasan seksual di sosial media akan berawal dari ketikan di kolom komentar suatu postingan dan bisa berujung menjadi kekerasan seksual yang lebih parah karena bisa membujuk pihak mana saja untuk melontarkan komentar pada postingan tersebut.


Kekerasan seksual bisa menjadi hal yang sangat mengerikan jika tidak segera diatasi. Hal tersebut akan membuat para perempuan akan takut dan memiliki rasa traumatis dalam diri mereka. Selain itu para perempuan akan merasa tidak berguna lagi jika sudah mendapatkan kekerasan seksual sedangkan lagi-laki akan merasa berbangga hati setelah melakukan perbuatan keji tersebut. Pelaku laki-laki juga tidak akan segan melakukan pembunuhan jika korban mereka memberontak dan melaporkan mereka ke pihak berwajib. Oleh sebab itu, harus adanya segala macam cara untuk mencegah atau meminimalisir kasus kekerasan seksual. Adapun beberapa cara untuk mengatasi kekerasan seksual yaitu:

Pendidikan dan edukasi seksual, dua hal itu sangat berkaitan erat. Jika perempuan dan laki-laki diedukasi terkait seksual akan ada kemungkinan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual diantara mereka. Pendidikan dan edukasi terkait seksual harus dikemas secara benar agar tidak adanya penyalahartian dari adanya program untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual di kalangan anak-anak, remaja, dan dewasa. Adanya pelajaran keahlian bela diri dan berani untuk disituasi apa pun, meskipun diketahui jika sudah memiliki bekal bela diri pada seorang individu akan cukup memadai namun sikap berani untuk disituasi apa pun sangat dibutuhkan untuk melengkapi keahlian bela diri. Seorang individu harus mengetahui batasan antara interaksi untuk meminimalisir terjadinya kekerasan seksual di mana pun dia berada karena ancaman kekerasan seksual di era sekarang sudah tidak dapat diprediksi lagi. Selain itu adanya sanksi yang tegas untuk pelaku kekerasan seksual yang efektif, sanksi yang tegas dan kuat akan membuat para pelaku memiliki efek jera akan melakukan kekerasan seksual pada korban. Sanksi yang tegas dan penegakan hukum yang merangkul korban kekerasan seksual akan sangat membantu korban kekerasan seksual lebih terbuka sehingga tidak akan ada korban selanjutnya dari pelaku yang sama.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun