KASUS PENCURIAN LISTRIK DI JAKARTAÂ
Di Jakarta, laporan mengenai pencurian listrik di organisasi kumuh meningkat, di mana warga sering menyambung kabel listrik secara ilegal untuk menghindari pembayaran. Tindakan ini melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana. PLN mengidentifikasi berbagai jenis pelanggaran, termasuk penyambungan langsung ke jaringan listrik tanpa izin. Selain risiko kebakaran, pencurian listrik juga dapat mengakibatkan denda besar dan tagihan susulan. Penegakan hukum yang lebih progresif diperlukan untuk menangani masalah ini dan menjamin keadilan bagi masyarakat yang terdampak.Â
Kasus pencurian listrik di Jakarta dapat dianalisis menggunakan cara pandang filsafat hukum positivisme. Dalam perspektif ini, hukum diartikan sebagai peraturan tertulis yang harus dipatuhi. Pencurian listrik melanggar Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2009 tentang Ketenagalistrikan, yang secara tegas melarang tindakan ilegal seperti menyambung kabel listrik tanpa izin. Meskipun hakim dan aparat penegak hukum tidak dapat dipersalahkan karena hanya memenuhi rumusan undang-undang, masyarakat merasa ketidakadilan dengan keputusan hakim yang menyatakan pelaku bersalah. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya penegakan hukum progresif dan pembenahan sistem hukum pidana baik dalam segi substansi, struktur maupun budaya hukum untuk memastikan keadilan bagi masyarakat.Â
Mahdzab Hukum Positivisme
 Mazhab hukum positivisme adalah aliran dalam filsafat hukum yang menekankan bahwa hukum sekumpulan aturan yang ditetapkan oleh otoritas yang sah dan harus diikuti, tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral, etika, atau keadilan. Hukum positivisme berfokus pada aspek empiris dan faktual dari hukum, serta memisahkan antara hukum dan moralitas.Â
Argumentasi Terkait Mahzab Hukum Positivisme
Mazhab hukum positivisme di Indonesia, terutama dalam konteks kasus-kasus kecil seperti pencurian listrik, menunjukkan keterbatasan dalam menciptakan keadilan sosial. Positivisme hukum memandang hukum sebagai peraturan tertulis yang harus dipatuhi tanpa mempertimbangkan nilai-nilai moral atau konteks sosial. Dalam kasus seperti pencurian listrik, aparat penegak hukum sering kali hanya mengikuti rumusan undang-undang yang ada, sehingga keputusan mereka bisa dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Masyarakat merasa terganggu dengan keputusan hakim yang bersifat kaku dan tidak mempertimbangkan faktor-faktor sosial yang melatarbelakangi tindakan ilegal tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya penegakan hukum yang lebih progresif dan pembenahan sistem hukum agar dapat mengakomodasi dinamika sosial dan menciptakan keadilan yang lebih substantif bagi masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H