Tujuan keempat dari SDGs atau Sustainable Development Goals yang merupakan suatu program kerangka kerja UNESCO dengan mencakup Quality Education atau Pendidikan Berkualitas yang mempunyai target membangun literasi pada tahun 2030 agar seluruh masyarakat memiliki kemampuan literasi dan numerasi tanpa memandang gender baik perempuan maupun laki-laki[1].
Pentingnya kegiatan literasi dapat dilihat dari perkembangan banyak aspek seperti kemampuan dan kemauan individu untuk mempunyai jiwa kreatif maupun inovatif, berkembangnya wawasan di banyak bidang, melatih kemampuan critical thinking, dan berproses menjadi problem solver yang produktif di setiap hal yang dihadapi.
Aspek penting di dalam pendidikan salah satunya merupakan kegiatan literasi pula, dengan pemahaman menelaah informasi dengan tebang pilih dan kritis minat baca akan semakin bertambah seakan berjalannya waktu.
Tujuan dari UNESCO yang telah dipaparkan di awal perlu adanya peran penting dan andil yang besar dari keberadaan perpustakaan dalam penyediaan sarana dan media baca baik oleh pemerintah maupun pihak penunjang untuk mewujudkan masyarakat yang tidak hanya akrab dengan literasi tetapi cinta literasi.
Menurut penelitian yang dilakukan World's Most Literate Nations, Central Connecticut State University (Joko, 2019; Kiasati & Heriyanto, 2022) menunjukkan kondisi literasi di Indonesia yang mana sangat memprihatinkan yaitu berada pada peringkat terbawah kedua dari 61 negara yang diteliti yaitu berada di posisi ke-60.
Hal ini diperkuat dengan kajian yang dilakukan oleh Perpustakaan Nasional di tahun 2019, yang menyatakan bahwa tingkat literasi menunjukkan besaran angka 25,1 yang termasuk rendah dengan objek kajian 12 provinsi dan 28 kabupaten/kota di Indonesia. Terlebih lagi, menuntut dan meraih ilmu di Kota Yogyakarta dengan branding sebagai kota pelajar memberikan pandangan kepada masyarakat luas akan terbuka dan ramahnya budaya literasi.
Literasi merupakan integrasi keterampilan menyimak, berbicara, menulis, membaca, dan berpikir kritis[2]. Membangun generasi yang cinta akan literasi tentunya tidak mudah. Semakin banyak generasi muda yang mencintai budaya literasi, maka akan semakin menjamin pendidikan yang berkarakter di negeri ini. Dewasa ini Duta Baca merupakan langkah yang sering ditempuh banyak pihak dalam memotivasi angka melek baca di berbagai daerah.
Duta Baca berperan sebagai role model yang berperan aktif untuk membantu meningkatkan indeks literasi masyarakat yang dapat diawali dari lingkungan kampus dengan kampanye gerakan literasi sebagai ambassador of library yang memberikan kontribusi penuh dalam peningkatan literasi bagi mahasiswa.
Tak hanya tentang baca dan tulis, dewasa ini literasi terlibat dalam setiap aspek kehidupan manusia. Individu literat adalah mereka yang memiliki kemampuan untuk mengelola, memilah, dan menggunakan informasi yang diterima dari berbagai sumber guna mensejahterakan serta meningkatkan kualitas hidup sekitarnya.
Tentu sasaran yang menjadi prioritas dan dikedepankan adalah mahasiswa sendiri, minat baca yang dikembangkan melalui internal kampus dan dengan strategi yang sesuai selanjutnya dapat dijadikan landasan bagi berkembangnya budaya baca[3].
Implementasi peran dari Duta Baca secara umum adalah sebagai information and communication bridge, walau informasi di era digitalisasi sangatlah mudah untuk ditemukan tetapi masih diperlukan bantuan dan peran dari berbagai pihak khususnya Duta Baca sebagai informan yang turut andil besar dalam pertukaran informasi dari sumber-sumber faktual dan aktual mengenai literasi dan kegiatan literasi yang dibutuhkan baik antar mahasiswa maupun pengelola sehingga kegiatan dalam rangka menunjang budaya literasi kampus menjadi semakin baik dan terbarui.